26 Days in Europe: A Hidden Gem Called Gent


Maafkan aku yang sudah lama tak melanjutkan tulisan #26DaysinEurope ini, Matilda. Kau tahu, aku belakangan sibuk bepergian. Tapi, Marlon, aku tak melupakanmu. Sedikit pun tidak. Aku selalu mengingatmu ke mana pun aku pergi. Percayalah, Misha. Nah, sekarang aku sudah kembali ke Jakarta. Beberapa hari ke depan, aku akan rajin menulis di sini. Aku serius, Munah! Sungguh! Buktinya, kemarin aku menulis tentang AADC di postingan sebelum ini, dan sekarang, aku akan bercerita tentang betapa kita bisa tersentuh hanya dengan mendengar sepotong percakapan pendek.

Kau tahu, Mulyono? Aku tak terlalu antusias ketika mengunjungi Gent. Aku pikir, kota ini akan sama saja seperti kota yang sudah pernah kukunjungi seperti Amsterdam ataupun Brussels. Menurutku, yang akan aku lihat adalah rumah-rumah kurus ramping nan jangkung seperti rumah jahe di Amsterdam, Volendam, Kinderdijk, Brussels, Bruges. Sejujurnya, aku agak bosan. Aku ingin pemandangan dan suasana lain, Mumun. Namun seperti biasa, aku yang Aquarius ini memang labil. Hey, Maesaroh! Jangan memutar matamu dan mendengus pelan begitu! Kau tahu aku ini memang suka berubah pikiran sesering engkau kentut diam-diam. Oh, aku tahu sekali kebiasaanmu itu, Maman. Kau suka kentut diam-diam dan berpura-pura hendak muntah ketika yang lain sudah sadar ada bau tak sedap. Walaupun buatku ini sedikit licik, tak mengapa. Aku tetap akan bercerita.

Dalam bayanganku, Gent atau Ghent adalah sebuah kota kecil mungil seperti halnya tetangganya; Bruges atau Brugge. Aku terkejut ketika tiba di stasiun Ghent. Stasiun ini sangat modern dan luas, Mamat! Luas sekali malah! Aku bertambah bingung dan disorientasi ketika menginjakkan kaki keluar dari stasiun. Mengapa Gent jalanannya beraspal dan lebar? Di mana jalanan berbatu dan rumah mungil dan jembatan kayu dan gedung berusia ratusan tahun yang bergaya gothic dan gereja dengan menara superjangkung? Kok, yang aku lihat adalah gedung bergaya modern dan deretan sepeda tak terhitung jumlahnya dan mobil mewah yang sesekali melintas dan jalanan yang lengang? Ke mana orang-orang? Di mana aku, Maria? DI MANA AKU?

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Ah, kita semua memang perlu membuang asumsi jauh-jauh, ya, Markonah. Asumsi yang meleset kerap membuat kita berkubang dalam kemaluan, eh… maksudku, berkubang dalam rasa malu. Jadi, aku terus berjalan sesuai dengan petunjuk yang kudapat dari petugas di dalam stasiun. Dia bilang, berjalan saja sebentar, sekitar lima belas sampai dua puluh menit, maka aku akan bertemu dengan jembatan yang menuju pusat kota. Aku sudah bersiap kecewa, Marty. Soalnya, dari stasiun ke lima belas menit berikutnya, yang kudapati hanya jalanan lengang dan gedung perkantoran. Namun, pemandangan di kiri kanan mulai menarik. Sebuah kanal dengan air berwarna cokelat tapi tak keruh dengan rumah lucu di sebelah kanan, beberapa perahu besar yang tampaknya digunakan untuk tempat tinggal tertambat di pinggiran kanal.

Setelah belokan, aku terkesima. Makkimak, pernahkah kau seperti terlempar ke masa lalu? Aku merasa begitu. Aspek modern Gent yang sedari tadi aku serap, digantikan dengan suasana ramai. Pertanyaanku tentang di mana manusia-manusia kota ini terjawab begitu memasuki lorong dengan jalan batu yang dihiasi dengan gedung dari abad pertengahan yang bercampur dengan toko-toko modern. Berbagai merk brand ternama terpampang angkuh sekaligus menggoda. Untungnya, aku sadar bahwa tujuanku bukan berbelanja. Lagipula, aku tak punya uang sebanyak itu untuk dihamburkan. Marta, pernahkah kau melihat lampu hias natal menggantung di atas jalan di negara-negara Eropa? Di Gent juga seperti itu.
Gent

Gent

Gent

Gent

GentGentSelepas dari lorong penuh toko yang mengundang banyak manusia menghamburkan uangnya, langkahku terhenti.

Astaga, Michael! Di barisan gedung-gedung dan kastel abad pertengahan yang pamer kecantikan, terselip sebuah ferris wheel berbalut cat putih dengan lampu yang mulai menyala di setiap sudut boks pengangkut penumpangnya. Mungkin Gent ingin seperti London yang sukses besar dengan London Eye, mungkin ia memang ingin bersolek dengan hal modern, yang jelas, buatku ide menanam ferris wheel di antara bangunan kuno sangatlah berani dan cerdas.
Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Di dekat ferris wheel ada sebuah Christmas market. Kegemaranku! Aku selalu suka berkeliling dari satu kios ke kios lain, hanya sekadar mengamati interaksi pembeli dan penjual. Kios-kios di Christmas market selalu menawan. Dekorasi kios yang ditata secantik mungkin, lampu-lampu hias memandikan kayu kios dalam cahaya, lagu-lagu natal yang terkadang terdengar, bau gluhwine (wine panas khas eropa, biasanya disajikan di musim dingin dengan tambahan cinnamon dan potongan buah, rasanya manis dengan aroma rempah) menguar diselingi suara tawa dan percakapan yang hangat.

Gent
Gent
GentGentGentGent

Biasanya, aku malas sekali berjalan di tempat yang penuh sesak oleh manusia, Marjojo. Aku kerap merasa tak nyaman berada di antara himpitan orang yang berlalu lalang. Namun, aku membuat pengecualian untuk Christmas market. Aku mencicipi gluhwine, membeli donat berpupur gula halus superbesar yang membuatku tampak seperti manusia berkumis putih ketika memakannya. Aku dengan riang menyelip di sana sini dan berhenti mengamati patung santa, ukiran malaikat, hiasan natal, pernak pernik perhiasan warna warni, lilin beraroma buah dan berbentuk apel, jeruk, anggur, dan seribu dua ratus bentuk lain yang bisa kau pikirkan, waffle, cokelat, cokelat, dan cokelat. Mungkin kau akan mangkel dan bertanya, kenapa cokelat harus disebut tiga kali? Begini, Markodok, Gent berada di Belgia. Kau tahu apa yang terkenal di Belgia selain waffle dan frittes (fries) berlumur mayones? Yap! Cokelat mereka. Aku menduga sapi di Belgia sebelum diperas susunya, diperdengarkan musik klasik dulu, supaya rasa cokelatnya bertambah enak.

Gent

Gent

GentGent

Mari aku ajak kau ke St. Michael’s Bridge dan sekitarnya, Melda. Bisa dibilang, ini jembatan paling terkenal di Gent. Mengapa? Daripada aku menjawab dengan rentetan kalimat, lebih baik kutunjukkan saja foto-foto yang tak aku edit sama sekali. Aku juga menyertakan pemandangan Gent yang dilihat dari Ferris Wheel. Oh, tentu saja, Maharani. Walaupun banyak yang mencibir bahwa ferris wheel adalah tourist trap, aku selalu jatuh cinta pada pemandangan di bawah sana. Lagipula, selama para pencibir bukan pemberi kontribusi dalam hidup, tak memberi uang satu sen pun untuk traveling, mengapa juga mereka harus didengarkan? Setuju, kan, Mencucu?

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Gent

Yang paling aku ingat dari kunjunganku ke Gent adalah ketika aku terdiam di St. Michael’s Bridge. Aku sedang memotret suasana dan bangunan di sekeliling jembatan, Mahendra. Kemudian, ada seorang bapak-bapak muda nan tampan yang datang bersama anak kecilnya yang juga tampan. Aku menunggu sang ibu muncul, namun tampaknya sang ibu masih tersangkut di Delvaux atau Chanel atau LV atau Prada atau di toko desainer ternama lainnya, sehingga suaminya memutuskan untuk menyelamatkan diri dari kebosanan menunggu sang istri memilih barang seisi toko, lalu berpindah ke toko lain lalu ke toko lainnya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke toko pertama dan membeli barang pertama yang ia suka. Begitulah yang kulihat dari para perempuan. Kebanyakan memang suka merepotkan diri sendiri. Maaf kalau kau tersinggung, Machicha.

Gent
Anak lelaki kecil dan papanya menikmati pemandangan di sekitar jembatan. Sama halnya seperti diriku, mereka terpesona dengan gedung tua dan kanal dan rumah-rumah kue jahe dan manusia yang bersantai di pinggiran kanal. Sang papa lalu berjongkok, dan menjelaskan mengapa rumah di sini berbentuk aneh, tak seperti rumah di Amerika. Kemudian, sambil mengacak-acak rambut anaknya, sang papa bertanya.

“When you grow up, what do you want to be?”
“I wanna be like you, Daddy.”

Mari, Mizu, Miko, Marfuah, dan Magicjar, kita bersama-sama membentuk paduan suara: Awwwwww~

Percakapan singkat itu diikuti dengan pelukan sang papa ke anaknya.
“Why?”
“Because you are the best daddy in the whole world!!!”

Marendra, Meylita, Mervyn, Maharani, Myrza, Mabel, Mayra, Milena, Magnolia, Malyka, Marla, Melena, Medusa, dan Markipul, saat itu aku merasakan dorongan yang kuat sekali untuk memeluk anak kecil yang sudah merebut hatiku ini. Tentu saja aku kalah cepat. Papanya sudah memeluk anak ini lalu mengangkatnya tinggi-tinggi hingga si anak berambut pirang gelap itu menjerit kesenangan. Aku membiarkan mereka, tak berminat mengambil foto satupun, karena aku ingin menikmati momen itu. Hatiku menghangat di tengah tamparan udara yang nyaris membeku.

Cerita sesederhana di atas dan tata kota dan bangunan dan cokelat dan kastel dan ferris wheel telah menempatkan Gent sebagai salah satu kota tercantik di eropa versi pribadiku, Martabak. Aku sama sekali tak keberatan untuk kembali dan tinggal tiga atau empat hari di sini. Setelah hati dibuat hangat oleh percakapan singkat antara papa dan anak lelakiknya, aku merinding ketika sedang berdiri di bawah St. Michael’s Bridge. Sebenarnya aku sudah hendak kembali ke Brussels. Aku mengamati deretan rumah dan toko berumur ratusan tahun di seberang canal. Lalu, terdengar alunan cello dan biola memainkan melodi favoritku. Johann Pachelbel dengan komposisi abadinya: Canon in D menari di udara, menghiptonisku dengan total.

Dari tempatku berdiri, aku tak bisa melihat siapa yang memainkan cello dan biola dengan sempurna. Dugaanku, mereka adalah kelompok musisi jalanan yang luar biasa mahir. Setiap nada menggaung di udara tanpa cela. Aku akan selalu ingat bagaimana nada demi nada mengalun, membungkusku dalam kehangatan. Jika kau sedang membaca tulisan ini, bukalah laman youtube dan carilah lagu Canon in D by Pachelbel untuk sedikit merasakan apa yang aku rasakan malam itu.

It was a perfect day ended perfectly in harmony, Mauval. It’s a day I will never forget.

Gent
Gent

Sampai bertemu di kota selanjutnya. Bisakah kau tebak kota apa yang akan aku ceritakan, Marjorie dan Mariyo?


10 responses to “26 Days in Europe: A Hidden Gem Called Gent”

  1. Berasa baca cerita di buku bahasa indonesia X)) koh yg di twitter minta nama berawalan M itu buat ini yaaakk?? Btw cerita sama fotonya ay laffff iiiitttt!!!

  2. Baca ceritamu, cara berceritanya kayak baca buku anak2 astrid lindgren, macem emil dr lonneberga n pipi langstrum.. hehehehe…

  3. Nyampe rumah yg awalnya capek jd seger baca postingan ini. Ngakak hore. Tapi tak kulihat nama Mario dan Miranda disebut di sini. Atau daku yg kelewat ya? ?

    Btw, Gent luar biasa cakep night view-nya ya.. ???

  4. seperti biasa ulasan cerita yang ciamik. ahhh koh alex kau bener” berbakat.
    oh ya lex belgium juga terkenal Bir-nya kan yak? soalnya teman Perancisku selalu bilang ohhh Bir Belgim yang terbaik…

  5. hahaha, ini postingan koh Lexy paling lucu menurutku. Markonah, Marjojo, Martabak, can’t stop laughing. kalau isi tulisannya sendiri sih udah pasti bagus dan selalu berhasil bikin yang baca pengin langsung ngibrit ke TKP. baiklah, Marimar, tetaplah menjadi story teller yang menyenangkan. I am a happy reader. Laf yu koh lexy..

  6. oh….. Rudolfooo saat buka youtube dan melihat foto jembatan, aku merasakan energy ketenangan yang kau rasakan, Sergio…nsungguh wahai engkau kisanak, kisahmu ini sangat meng inspirasi semua pemuda di desa ini.

  7. Rajin baca blog koh lexy jadi berasa ikut keliling Eropa, jgn pernah bosan menulis ya koh!nBtw,besok Meksy disebut juga dongdong…nama tengah gue ud83dude04

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *