Indomie, Makanan Nasional Indonesia


Gue jadi inget waktu gue pertama kali memutuskan untuk membuka warung kelontong. Iya, warung yang jualan beras, telur, terigu, minyak goreng, dan berbagai kebutuhan pokok itu. Saat itu, gue menghabiskan seluruh tabungan gue untuk memodali warung ini. Dan sisa uang yang ada, gue pake untuk kembalian kalo ada yang belanja. Minggu-minggu pertama merupakan ‘masa kegelapan’ dan penuh dengan cobaan. Gue nggak bisa ke mana-mana karena harus jaga warung. Gue harus perhitungan banget karena kalo boros sedikit, pasti akan merugi. Bahkan, saking nggak adanya uang yang tersisa, gue terpaksa tidur di ……. Atas kardus, di kamar yang ada di dalam warung.

Serius, gue tidur di atas kardus selama hampir sebulan. Duitnya abis buat belanja macam-macam, sih. Dari beras sampai rokok. Dari Indomie Goreng sampai Indomie Kari. Dari minyak goreng sampai ke telur. Kebutuhan pribadi seperti kasur, jadinya harus ditunda dulu.  Tentu saja, tidur di atas kardus berpotensi membuat encok. Badan gue hampir tiap pagi sakit. Punggung gue rasanya kayak diinjek. Ditambah lagi, sedikit gatel-gatel karena gue udah terlalu capek untuk membersihkan kardus-kardus itu sebersih-bersihnya. Tapi, demi kemajuan warung, gue bersedia. Biarin sengsara sebentar, yang penting usaha gue bisa maju.

Begitu uang mulai terkumpul, begitu keuntungan yang seratus dua ratus perak mulai terlihat jumlahnya, gue baru berani beli kasur Palembang. Itu lho, kasur warna warni yang tipis. Well, nggak nyaman sih, tidur di kasur Palembang. Tapi yang jelas jauh lebih nyaman ketimbang tidur di atas kardus. Badan gue nggak terlalu sakit lagi. Hehe.. ^^

Bulan-bulan selanjutnya, berkat pelanggan yang makin bertambah, dan berkat tampang imut gue juga *kemudian diludahin*, gue udah bisa beli kasur ‘beneran’! Udah bisa beli lemari kecil untuk menggantung baju gue yang selama ini gue taruh di kardus. Bahkan, bisa beli TV 20 inch. YAY! Well, walaupun barang-barang itu gue beli bukan dengan bayar cash langsung. Tapi dengan cara mencicil tiap hari. Hahaha. Jadi, ada tukang kredit keliling kampung yang menawarkan berbagai macam barang untuk dikredit. Jadilah gue ngambil TV. Setiap harinya, gue harus bayar sekian rupiah selama sekian puluh hari. Ternyata, walaupun lebih mahal dari harga cash (ya menurut ngana?!) gue berhasil melunasi cicilan-cicilan tersebut, tanpa mengambil modal warung. Semuanya murni menggunakan keuntungan dari penjualan dagangan.

Kalo diingat-ingat lagi, salah satu dagangan gue yang paling laku di warung adalah … Indomie. Nggak mengherankan, sih. Indomie kan emang sahabat semua orang.  Bahkan sampai sekarang pun gue masih sering banget makan Indomie. Dari Indomie Goreng, Indomie Kari Ayam sampai ke Indomie Soto (kadang-kadang).  Induk semang warung gue, yang gue panggil dengan sebutan Mak Haji, sampai bingung sendiri karena gue sering banget makan Indomie. Dan Indomie Goreng buatan beliau mungkin adalah yang terenak sedunia. Pakai kornet yang digoreng kering dengan margarin, pake sawi rebus, telur rebus, dan terkadang, Indomie nya dibungkus dengan telur dadar. Oh, heaven!

So, begitu tau tahun ini adalah ulang tahun ke-40 nya Indomie, gue jadi kepengin nulis sesuatu. Makasih ya, Indomie. Kamuh udah kayak pacar yang selalu setia. Selalu ada kapan saja.  Bahkan, Indomie lebih asik dari pacar karena nggak pernah protes, gak pernah ngomel, dan gak akan selingkuh. *maap ini bukan curcol* xD

Btw, gue sampai sekarang selalu bersikukuh bahwa makanan nasional Indonesia bukan semur, rendang, sate ayam, atau ayam pop. Makanan nasional Indonesia adalah Indomie. xD #lopelopediudara


7 responses to “Indomie, Makanan Nasional Indonesia”

  1. Hihihi, iya juga ya… makanan sejuta umat ini indomie :D.. walopun aku ga ngerti kenapa rasa indomie di luar negri ga seenak ama indomie di indonesia… serius, aku bisa ngerasain beda..rasa bumbunya ga semantep indomie yg dijual di sini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *