Apa yang akan kalian lakukan ketika orang-orang di sekitar kalian adalah pasangan-pasangan yang tak malu-malu berciuman di tempat umum? Ke manapun kalian pergi, selalu ada romantisme antar pasangan. Di halte bus, di stasiun metro, di café, di depan Louvre, di bawah Eiffel, di taman, di pinggiran sungai Seine, bahkan di bawah kanopi toko yang penuh orang-orang yang berteduh karena hujan sedang turun dengan derasnya. Di toko buku pun, ada saja pasangan yang memilih buku sambil bergenggaman tangan. Di daerah pertokoan, banyak sekali pasangan yang window shopping tanpa malu-malu menunjukkan Publis Display of Affection (PDA). Gue seketika merindukan pacar sambil mengutuk orang-orang ini dalam hati,
“CETAN CEMUANYA! BARBIE KAN MAU PACALAN JUGA!!”
Serius, gue iri banget dengan atmosfir kota ini, dengan manusia-manusianya yang tampaknya romantis semua. Mereka pacaran, gue mupeng doang. Mereka ciuman, gue cuma bisa foto diam-diam, berharap dapet shot bagus untuk gue pamerin di Instagram. Tindakan yang tidak terpuji, sih. Tapi… dari pada gue minta ciyuman bareng, ya, kan…
Anyway, welcome to the city of love. Welcome to Paris.
Salah seorang teman gue memperingatkan ketika dia tahu gue akan jalan-jalan ke Paris sendirian. Katanya, Paris bukanlah kota yang cocok untuk didatangi sendirian. Lebih baik, pergi ke sini bersama pasangan. Ketika itu gue hanya tertawa mendengar ocehannya. Buat gue, ke mana pun asalkan hati senang, tak masalah mau pergi sendirian, bersama pasangan, atau pergi satu kelurahan sekalipun. Ternyata gue harus membayar mahal ‘kesombongan’ gue.
Yang namanya baru pertama kali menginjakkan kaki ke Paris, tentunya gue terbengong-bengong menatap, mengamati, dan mencerap arsitektur gedung-gedung di kota ini. Di Gare Du Nord, tempat gue turun dari Metro sambil menyeret koper, gue diam dulu selama hampir setengah jam. Seluruh bayangan gue tentang Paris buyar. Tadinya, gue berpikir, Paris ya seperti kota-kota lain yang pernah gue kunjungi. Penuh gedung dan manusia dan Eiffel Tower. Rupanya, Paris lebih dari sekadar gedung dan manusia. Paris adalah sejarah dan budaya dan atmosfir yang menghanyutkan. Udara yang menusuk tulang di musim dingin tak mampu mencegah perasaan hangat yang mulai merambat ke dalam hati. Romantisme Paris nyata adanya.
Nah, ini foto-foto sekitaran Gare Du Nord.
Kekaguman gue akan struktur dan bangunan di Paris semakin bertambah tatkala gue mengikuti tur yang ‘sangat mainstream’ untuk turis: Bateaux-Mouches. Tour ini membawa kita menelusuri sungai Seine, melewati bangunan-bangunan iconik kota Paris, mulai dari Menara Eiffel yang pada malam itu bersinar emas serta beberapa kali berubah menjadi tiang lampu raksasa yang berkerlap-kerlip putih, Katedral Notre-Dame, Alexander III Bridge, Les Invalides, Orsay, sampai Louvre. Diiringi suara guide yang sudah direkam dalam beberapa bahasa yang menjelaskan bangunan-bangunan yang sedang dilewati, gue tak bisa menahan rasa excited dan tentunya, mendadak norak melihat bangunan-bangunan yang selama ini hanya gue lihat di majalah, internet, ataupun TV.
Beberapa kali juga, gue memerhatikan bahwa di feri ini ada pasangan-pasangan yang asik berpelukan dan berciuman. Awalnya, gue tersenyum, ikut merasa senang melihat pemandangan romantis di depan gue itu. Pemandangan orang berpelukan, berciuman, bergandengan tangan terus mengikuti gue selama beberapa hari gue di Paris. Di dalam Museum Louvre, di luar Katedral Notre-Dame, di Basilika Sacré-Cœur, di Montmartre, di Rue de Rivoli yang letaknya dekat sekali dengan Louvre, di café-café romantis pinggir jalan, bahkan di lantai dua Eiffel Tower pun ada pasangan-pasangan yang memasang timer di kamera mereka untuk mengabadikan keromantisan mereka. Gue hanya bisa tersenyum menatap kegiatan mereka. Senyum miris. Mengingat bahwa gue sendirian. Tak ada pasangan yang menemani. Perasaan yang tadinya biasa saja menatap berpuluh-puluh pasangan pamer keromantisan perlahan berubah menjadi perasaan nelangsa. Gue ingin seperti mereka juga, berpelukan, saling bercerita di bawah Eiffel Tower, berbagi keromantisan, duduk di pinggir Seine River sambil berpegangan tangan, makan waffle yang dibeli di pinggir jalan di Sacré-Cœur, dan sebagainya.
Ciyan.
Namun, segala kegalauan itu lenyap di hari terakhir. Gue sedang berada di jembatan di depan Notre-Dame, mengamati burung-burung yang beterbangan dengan ribut, mengelilingi seorang bapak-bapak tua yang membawa kantung plastik berisi roti kering. Sambil duduk di bangku dan menahan dingin yang dibawa angin musim dingin, gue mendengarkan dengan tekun cerita bapak tua ini kepada pasangan yang adalah laki-laki Korea dan seorang perempuan kaukasia. Bapak Tua bercerita dengan bahasa Prancis, lelaki Korea menerjemahkan ke bahasa Inggris kepada pasangannya. Gue jadi senang karena bisa ikut mengerti dan menyimak cerita si Bapak Tua. Saat itulah, ada yang menepuk lembut bahu gue.
Perempuan muda berkulit putih dengan pipi merah seperti apel ranum mengulurkan kameranya ke gue dengan senyum canggung.
“Would you please take my picture? I’d love to have the Notre-Dame as the background.”
Gue segera bangkit dan mengiyakan permintaannya. Beberapa kali jepret, perempuan muda ini tampak puas, dan menawarkan untuk memotret gue di spot yang sama.
Sambil difoto, kami bercakap-cakap. Gue agak heran karena dia sendirian.
“Just because I’m a girl, it doesn’t mean I’m not allowed to travel alone.”
“Okay, fair point. But why Paris?”
“Because I want to see how myself deal with these lovers.”
Gue langsung tergelak. “These lovers? What’s with them?”
Wajah perempuan muda berambut merah ini mendadak serius.
“You see, I am alone, with no boyfriend. My friend told me Paris is way too romantic I’d die each time I see people start kissing. But here I am, alive and kicking!”
Wajah gue berubah menjadi serius juga, karena kami mempunyai issue yang sama.
“Okay, I need your secret.”
Cewek ini nyengir dan menunjuk ke arah belakangnya. Gue manut. Kami lalu duduk di bangku hijau nan dingin, sambil terus mengobrol.
“I just remind myself, that back at home, there are people who would want to see me happy while I’m in vacation instead of feeling jealous with those love birds. And also, I need to be grateful that I’m here, in this city of lights and love while many people out there are dying to be here.”
Perkataan perempuan berambut merah ini menampar dan menyadarkan gue, bahwa tak sepantasnya gue galau apalagi mengeluh hanya karena gue traveling sendirian. Perempuan berambut merah ini melambaikan tangannya, dan pergi meninggalkan gue yang masih tersenyum setelah mendapatkan pencerahan darinya.
Bersyukur. Kata yang sudah lama menjadi sekadar kata tak berarti bagi banyak orang. Gue bersyukur bisa mendapatkan kesempatan menjejakkan kaki di kota cinta. Suatu hari nanti, gue juga akan bersyukur bisa kembali ke kota ini, bersama yang tercinta.
15 responses to “The City of Love (?)”
Beruntung ya lex bisa menjejakkan kaki di Paris dan mengabadikan semua momen yg ada..
liat semua foto2 itu sambil berdoa suatu saat bisa mengunjunginya.. ^^
gue aminkan, yaaaa. Aaaamiiinnn!
Ini foto2nya bikin mewek deh lex. Pas pertama kali kesana juga selisipan waktunya sama pacar..aku sampe paris, pas bgt pacar pulang ke indo. jadinya ngginyem doang tiap liat pasangan cuddling di pinggiran sepanjang sungai seine T_T
LOL LOL so you know exactly how I feel! AHAHAHAHA
Jadi ingat film Hollywood si cewek bilang Paris itu city of love si cowoknya keukuh bilang Paris itu city of Light. LOL
Tiap ngebaca tulisan koko n ngeliad poto2 koko slalu terngiang dlm hati “sumday I will”..
Ur story make me feel everydream would come true..
Tks~ :]
Ah! Rasanya kayak dibuka matanya ketika baca kata-kata perempuan itu :)
Gue rasa koh Alex cocok jadi semacam Brandon Stanton gitu :)
#wishlistforchristmas semoga awal march 2015 rencana ku berjalan lancar menuju city of love
Aaakkk! Kota favorite.. Semoga bisa seperti Ko Alex.. Bisa travelling…
ini kali ya yang dirasain syahrini waktu ke paris..
koh bacanya merinding sambil muppeng parah. doain bisa kesana juga yak ! :’3
envyy,,,,aaaakkkhhhhh,,,,,mau jg…
Ga bisa berkata2 gw lex pas baca n liat pic diatas T_T
lex lu pake kamera apa? bagus2 hasil jepretan lu