Sebagai orang yang naik Halilintar di Dufan aja takut, naik Kora-Kora menjerit sampe mau nangis dan ketika turun keliyengan plus kepengin muntah, maka bukan rahasia lagi kalau gue bukan fans atau pecandu adrenalin.
Loncat indah di kolam renang? NO.
Sky diving? ELO GILA, YA? NO!
Bungee jumping?! HELLAAAW. NO!
Panjat tebing? Ih, mendingan juga baca buku. NO!
Main ketapel raksasa yang di Singapore, yang kita duduk di sebuah bola, lalu tali penopang bola transparan itu ditarik dan dilontarkan ke langit dan bolanya muter gak karuan? Yeah, looks fun, but thanks no thanks. BIG NO!
Naik Halilintar lagi? NOOO… eh, bentar. Boleh, deh, kalo Halilintar doang. *plak*
Pokoknya yang berbau olahraga extreme yang mengandung acara bikin jantung melorot sampe ke dengkul, dan melibatkan ketinggian (gue takut ketinggian, FYI) dengan tegas terpampang nyata, jawaban gue adalah: NGGAK. NGGAK, dan NGGAK. Biarin gue dikatain cupu, penakut, gak asik, atau apa lah hinaan-hinaan itu. Gue masih terlalu sayang sama jantung gue untuk membiarkannya dikagetkan dengan olahraga pemompa adrenalin.
Namun… ada kalanya gue bertanya-tanya dalam hati, kenapa, ya, ada banyak orang-orang yang hobi banget melakukan, membayar, bahkan kecanduan extreme sport pemacu adrenalin? Apa karena adiktif? Terus, gue juga bertanya ke diri gue sendiri, apakah gue berani suatu hari nanti berani mencoba, just for the sake of trying? Pertanyaan ini terus menghantui gue, sampai suatu hari, kesempatan itu datang.
Di Australia Barat, ketika diundang untuk jalan-jalan ke sana, gue diajak untuk abseiling, atau turun tebing menggunakan tali. Awalnya, gue nggak mau. Lama-kelamaan, jadi penasaran, memantapkan hati, mencoba menarik napas dalam dan diembuskan perlahan berulang kali, dan … gue mengangguk. Mengiyakan. Lah… ternyata gue labil. Dan udah gila.
Saat helm pengaman dipasang, saat melongok dan melihat tanah sepuluh meter di bawah, hati gue gentar. But there’s no turning back. A man is as good as the words he promised. Jadi walau ketar-ketir dan menelan ludah berulang kali, gue di pagi yang dingin itu abseiling juga. Detik-detik pertama, darah sepertinya sudah meninggalkan wajah gue. Tangan gemetar, berusaha keras mengikuti perintah guide di atas, dan memercayakan keselamatan gue kepada dua orang yang menjaga tali sepuluh meter di bawah sana.
And you know what? I made it. Gue. Berhasil. Abseiling! Iya, sih, cuma sepuluh meter doang… but it still means a lot for me. Haha.
Kali kedua, ketika jalan-jalan ke Sumatera Barat. Di Padang, lagi-lagi teman seperjalanan mengajak dan terus membujuk gue untuk mencoba satu olahraga (yang menurut mereka) nggak extreme dan superseru: paragliding.
“Masak iya, sih, elo gak mau ngeliat laut dari atas, Lex?”
Ya, mau, sih… tapi kan… tinggi. Pake payung gitu… serem… adoh. Lagi-lagi gue memucat karena pikiran negatif yang sebaiknya nggak gue tulis nongol dan menjadi adegan di otak.
Akhirnya, gue mengerahkan jurus terakhir: pasrah. Whatever happens, happens, deh.
Parasut dikembangkan.
Tali-tali pengaman diikat ke badan.
Instruktur memberi pengarahan.
Jantung semakin berdebar tak karuan.
Wajah, seperti biasa, memucat.
Bibir kering.
Meneguk ludah berulang kali.
Membaca semua doa yang gue hafal.
Percaya sepenuhnya kepada instruktur yang akan mengarahkan parasut.
Menenangkan diri dengan berpikir, ini kan, terjunnya tandem, jadi gue pasti akan baik-baik saja.
Memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, berusaha tenang.
Sampai akhirnya…
“LARI YANG KENCANG!! LARI! LARIIIII!!!”
Dan gue pun lari sekencang-kencangnya ke bibir bukit tinggi. Pantai Air Manis dan pulau-pulau kecilnya terlihat, mengundang, dan… jantung gue mencelos ringan ketika kaki tak lagi memijak tanah.
Gue. Terbang. TERBANG.
Butuh waktu beberapa detik untuk menyadari kenyataan ini. Setelah debar jantung kembali normal, gue merasakan ekstasi tiada tara. I was so happy to realize that I was up in the air, flying, feeling the sea breeze on my face, looking down to the vast ocean below. What an experience.
Ketika akhirnya mendarat di pasir cokelat pantai Air Manis, gue berteriak kencang sekali. Teriakan senang sekaligus lega. Apakah gue mau paragliding lagi? Kali ini, tanpa ragu gue akan menjawab: IYA, GUE MAU!!!
Gue yakin, di antara kalian yang sedang baca artikel ini, banyak yang adalah adrenaline junkie. Pencari sensasi jantung berdebar dan menikmati bagaimana rasanya mengalahkan rasa takut. And you know what? Go, give it a try. Step out of your comfort zone!
rasa takut adanya di pikiran dan tercipta untuk dikalahkan. Berani?
7 responses to “How To Beat Your Fear?”
Aselik keren banget,,!! Paragliding itu a whole new experience banget yaaa… dagdigdug…
Koooo… Aku juga awalnya takut2 gitu pas pertama kali tandem paralayang. Sekali dua kali masih takut, setelah itu ketagihan. Akhirnya pengen belajar terbang paralayang, dan sekarang udah bisa terbang sendiri! Hati senang kalo udah terbang… :))))
someday I’ll try hoho
sama! gw jg takut sama yg extrem2 *blm nyoba jg*…
dan minggu kemaren gw yang ga bisa berenang n takut air, ikut main ke atlantis…. dipaksa ikut “crazy highest longest slide” nya… akhirnya malah ketagihan :D
Pingin nyoba jugaaa… berapa yaaaaa harganya naik parasut ituuh..
paragliding salah satu cita2 yg blm kesampean, ngga ada temennya & suami ngga mau ikuta :D
Your article helped me a lot, is there any more related content? Thanks!