Belum pernah gue sepenasaran ini dalam memotret milky way. Beberapa kali ke Jogja, gue selalu gagal mendapatkan foto milky way yang bagus. Kali pertama ke Jogja, gue sama sekali belum bias memotret dengan bagus, settingan untuk motret milky way aja belum tau. Kali kedua, ketiga dan seterusnya, gue ke untuk kerja dan nggak sempat ke mana-mana meski gue udah lumayan tahu teknik motret yang bagus. Kendala gue adalah … kamera yang nggak kuat sensornya untuk motret milky way. Akhirnya, gue harus puas – dan memang puas banget, sama foto–foto sunset di Ratu Boko dan sekitarnya.
Tehnik motret, udah tahu. Kamera yang sensornya lumayan, udah punya. Baliklah gue ke Jogja dengan harapan mendapat foto-foto milky way yang mentereng. Menjelang tengah malam, gue bersama beberapa teman pergi ke daerah Gumuk Pasir Parangkusumo. Katanya di situ tidak ada polusi cahaya, foreground yang menarik, dan langit yang bersih. Ternyata memang benar. Polusi cahaya dari kota nggak terlihat. Langitnya bersih dengan beberapa bercak awan putih. Foreground gundukan pasir pun tampak sangat menarik. Tetapi … saat itu sedang bulan purnama.
Rasanya gue pengin mengubur diri ke dalam gundukan pasir yang menggunung saja. Sialnya lagi, lewat aplikasi Sky Guide, gue jadi tahu bahwa core milky way sedang berada tepat di atas kami di malam itu. Foto-foto yang gue hasilkan malah mirip suasanya di senja hari, bukan tengah malam karena hasil fotonya sangat terang.
Milky Way? Ah, sudahlah, Fulgoso. Lupakan saja.
Apakah gue kapok? Oh tentu tidak. Beberapa waktu lalu, gue kembali ke Jogja. Tujuan utamanya sih retouch dan menambah tattoo. Setelah selesai menyiksa diri dengan tusukan jarum bertubi-tubi *alah apaan sih bahasanya lebay beudh*, lagi-lagi gue dan beberapa teman merencanakan untuk motret milky way. Waktu itu sih bukan bulan mati, tapi juga bukan purnama, jadi gue mikir, ah amanlah bulannya nggak terang-terang banget, kok…
I could not be more wrong lol.
Nyampe di Pantai Cemara, langit berawan. Bulan separuh nongol, dan langit hanya dititiki beberapa bintang. Namun gue memutuskan, apapun yang terjadi, I’m gonna have fun! And what a fun we had. Sementara teman-teman lain pakai jaket, gue cuma mengenakan jeans Levi’s dan kaus putih oblong. Kedinginan? Nope. Nggak sama sekali, malah.
Beberapa kali, gue harus memantau posisi tripod supaya tetap ajeg. Nggak lucu banget kalau lagi bikin timelapse eh tripodnya kegeser angin. Udah pernah kejadian beberapa kali soalnya. Kira-kira satu setengah jam kemudian, kami beranjak ke arah Ketep Pass. Tiba pukul 4 subuh, langit masih gelap. Asap tipis Merapi terlihat samar, dedaunan basah, dan suhu drop beberapa derajat, jauh lebih dingin dari Pantai Cemara, namun angin yang berembus jauh lebih jinak. Masih dengan balutan jeans dan kaus, gue bergegas memindai area Ketep Pass. Siapa tau milky way masih mengintip setelah bulan sudah turun di ufuk barat. Pas nyoba motret, eh ternyata ada! Well, cuma ‘ekor’ milky way aja, sih, karena core atau pusatnya sudah menclok di belahan bumi lain seiring dengan rotasi bumi. Tapi buntut milky way di atas Merapi sudah cukup membuat gue melonjak kegirangan.
Setelah beberapa kali ‘menyiksa’ sensor kamera, kami berempat nongkrong di warung kopi yang belum buka. Gue duduk bersila, menatap Merapi dan Merbabu, menunggu matahari terbit. Jeans gue masih tetap nyaman dipakai walau sudah tiga hari nggak dicuci. Emang deh, kalo lagi traveling begini, celana panjang yang versatile seperti jeans – yang bisa dipakai untuk acara santai ataupun jadi bawahan untuk dress code smart casual sangat berguna. Sebelumnya, sih, gue belum pernah pakai Levi’s. Soalnya gue pikir merk ini muahal banget. I mean, it’s the legendary Levi’s so it must be bloody expensive given how huge the name of this brand. Eh taunya nggak juga. Dari niatan beli jaket bahan jeans malah sekalian beli celana satu. And the Levi’s 511 I bought was a wise and good decision from an impulsive person like me. Dan berhubung gue pendek, pas beli gue minta dipotongin dikit biar pas dipake nggak kayak anak kecil pake celana orang dewasa yang bagian bawahnya ngewer-ngewer melambai-lambai.
Cuma nunggu kurang dari sejam, kelar. Besoknya langsung gue bawa deh, ke Jogja.
But, dear, Jogja, aku masih belum puas sampai mendapatkan foto milky way seperti di Sumba atau di Papandayan. I’ll keep coming back to you even when I already have the shots. Kalau gue main ke Jogja lagi untuk berburu milky way, kalian mau ikutan? Begadang sampai sunrise di Jogja dan sekitarnya, amat, sangat, menyenangkan. Aselik.
4 responses to “Milky Way Obsession”
beneran yah…kalo mau hunting2 milkyway / sunrise di tempat2 yg eksotis di jogja, ajak2 yah Lex :p
Hei Kak Lexy, have no idea have you seen this before or not. maybe you are interested to join https://www.goethe.de/ins/id/id/ver.cfm?fuseaction=events.detail&event_id=20845232 ^^
gila, jogja dan foto-foto yg keren abiss…
Koh kalo hunting dijogja lg ngabarin yak. ?