Sejak dulu, ketika ditanya negara yang pengin banget aku jelajahi, Norway selalu menjadi salah satu jawaban utama. Apalagi sejak follow banyak fotografer keren di Instagram yang sering banget pameran foto-foto Norway. OMG. The unreal beauty of Senja Island, Lofoten, Tromso, The Atlantic Ocean Road, lalu banyak sekali foto-foto Aurora Borealis yang bikin jantung berdebar lebih cepat, sampai katanya, jalur kereta terindah di dunia adanya di Norway, mengalahkan panoramic trains-nya Swiss. ADUH.
Namun, aku juga tau banget, menjelajah negara ini MUAHAL BINGGOW YA ALLAH SUMFEH. Apalagi, sering membaca deretan negara-negara termahal di dunia, Norway selalu ada di top 3. Makin giatlah aku menabung sambil berhalu ria. Niatnya sih, aku kepengin keliling negara ini minimal tiga bulan. Mulai dari Oslo, lalu naik pelan-pelan ke Bergen, sampai ke ujung utara, ke Svalbard kalau perlu. Yah, namanya juga halu, ya, neyk. Gratis ini.
Bertahun-tahun kemudian, sebuah ajakan media trip ke Belanda menjelang. Melihat jadwal yang kosong, aku mengiyakan ajakan ini, apalagi itinerarynya amat sangat menggairahkan. Ke Belanda tanpa menjelajah Amsterdam? YES OF COURSE! Namun, postingan jalan-jalan di Belanda mendingan aku bahas di post lain, atau postingan ini akan sepanjang novelet. Nah, berhubung tiket pulang boleh dimundurkan, aku langsung membuat rencana. Ke Norway, kah? Oh, tentu tidak. Kan extend-nya cuma lima hari. Niatku sih pergi ke Copenhagen dan Stockholm. Kenalan sama dua negara Skandinavia dulu, sebelum akhirnya menjejakkan kaki ke negara impian.
Manusia boleh berencana, seorang teman baik yang memutuskan. Tersebutlah seorang perempuan yang pernah mengundangku menginap dan review Ritz Carlton Tokyo, Kyoto, dan Osaka sekaligus membukakan gerbang menjadi satu-satunya influencer dari Indonesia yang diundang ke event travel paling bergengsi sedunia: ILTM (International Luxury Travel Market) membaca rencanaku main ke dua negara tetangga tempatnya tinggal. Tentu saja si Els, temanku yang tinggal dua jam dari Oslo ini, tumbuh tanduk.
“ELO MEMILIH PERGI KE COPENHAGEN DAN STOCKHOLM KETIMBANG MENYAMBANGI GUE? GAK MAU KETEMU GUE? GAK MAU KETEMU LAKI GUE DAN ANAK-ANAK GUE?!”
DHIAR! Seketika rencana ke Swedia dan Denmark luruh berantakan. Aku takut kalo dipecat dari teman dan memang anaknya gampang dipengaruhi. Apalagi, belum beli tiket atau booking penginapan sama sekali.
Berbekal bisikan Els yang bilang bahwa dari Amsterdam ada pesawat yang langsung mendarat di kotanya, tanpa pikir panjang aku booking tiket PP Amsterdam – Sandefjord. Hati kecilku menjerit: OH. MY. GOD. I’M REALLY GOING TO NORWAY!!
Tiba di bandara Sandefjord yang mungil nyaris tengah malam, aku mendorong koper besarku dan nyengir lebar sekali melihat Els duduk menunggu. Tanpa peduli manner lagi, kami saling menjerit dan berpelukan! Bayangkan, bertahun-tahun tak bertemu, eh sekalinya bertemu lagi, di negara paporitku! Aduh! Ini mimpi apa bukan, sih? Aku bahkan sempat bertanya, “Eh, gue beneran kan, ya, udah di Norway dan ketemu elo?” Rasanya ada di awang-awang karena berhasil mewujudkan satu mimpi lagi.
Namun… karena semuanya serba mendadak tanpa rencana, aku nggak punya itinerary apa pun kecuali ketemuan sama Els dan menginap di rumahnya. Eh, si Els sepanjang perjalanan dari bandara ke rumahnya mencerocos, “Kita besok pagi-pagi berangkat! Gue udah ada dua tiket!”
“Ke mane?”
“Swedia!”
“…”
LOL. LAH! PEGIMANE SIH, MPOK! Setelah browsing dikit, rupanya Sandefjord, kota yang juga merupakan headquarter Jotun, dekat dengan Stromstad, sebuah kota pelabuhan di Swedia. Cuma dua jam naik ferry. Menurut Els, di sana semuanya relatif lebih murah, kotanya cantik, asik untuk jalan-jalan. Aku sih yawda, iya-iya aja.
Els melupakan satu hal yang amat sangat penting: Hari Minggu biasanya toko-toko di kota-kota kecil Swedia dan Norway pada tutup.
Tiba di Stromstad sekitar pukul 9 pagi, kami dihadapkan ke kenyataan pahit, beneran gak ada satu pun toko yang buka HAHAHAHA. GAK BISA DUDUK SYANTIEK SARAPAN HAHAHA.
Jadi lah pagi itu, dalam keadaan laper banget karena hanya sarapan sandwich, aku berkeliling city center kota kecil ini. Mulai dari dermaga yang tak begitu sesak oleh berbagai jenis kapal dan perahu, keadaan kota yang layaknya kota mati – nyaris tanpa manusia sama sekali, rumah-rumah khas Skandinavia yang berwarna-warni tetapi tampak kelam karena mendung yang menggayuti, gereja kayu bermenara tak begitu tinggi yang rupanya tak bisa kami masuki karena sedang di renovasi, balai kota yang tentu saja tutup karena itu hari minggu, merapatkan jaket seiring angin dingin yang membuat suhu 4 derajat terasa seperti di dalam freezer, sampai akhirnya sekitar satu setengah jam kemudian, kami mati gaya dan memutuskan untuk kembali ke arah dermaga. Untungnya, ada satu minimarket yang buka. Satu hotdog dan segelas cokelat panas kemudian, kami mati gaya kembali.
Waduh. Untungnya, Els adalah teman perjalanan yang asik. Ada saja cerita yang meluncur dari bibir mungilmnya. Mungkin dia berusaha menghiburku karena sudah hampir pukul sebelas tapi tanda kehidupan tak kunjung mampir ke kota ini. Padahal, aku sih enjoy aja, karena memang kota ini cantik sekali. Kami lalu memutuskan untuk melihat apakah ada toko yang buka. Syukurlah, menjelang 11.30, tanda kehidupan mulai berdenyut. Mulai ada mobil yang melintas, manusia yang lewat, sepeda yang berseliweran, tamu yang masuk ke restoran, toko suvernir yang pintunya berdenting saat kami masuk untuk melihat-lihat dan menghangatkan diri.
Petualangan hari itu diakhiri dengan Els yang mengajakku berbelanja di supermarket di pusat kota. Pukul dua kurang, kami sudah berada kembali di feri. Ia tampak mengantuk, sementara aku mendadak impulsif, mengacak-acak google untuk memeriksa harga tiket ke Bergen dan kota-kota lain. Hasil meramban dan chatting dengan dua orang teman mengantarku pada satu keputusan: aku ingin melihat fjord spekta seperti yang sering aku liat di internet, di postingan instagram, di Norway. Saat bercerita ke Els, dia sangat mendukung keputusanku.
Tiba di Sandefjord, kami dijemput suami Els yang bertanya dengan nada ringan tapi ngenyek, “Gimana Stromstad? RAME NGGAK?” Kami terbahak di dalam mobil yang hangat ketika menyadari ia sedang meledek kami. Well, it’s not everyday you went to a town you’ve never heard of, and strolling around without spotting more than 20 people, right? It was certainly a memorable visit.
Rencana gila nan impulsifku terwujud sore itu. Aku sudah beli tiket kereta Sandefjord – bandara Oslo (yawla, hampir 500 rebu!), beli tiket pesawat Oslo – Bergen (karena terbang dari Sandefjord akan menggerogoti 3,6 juta dari tabungan, jauh lebih murah terbang dari Oslo walau sudah digabung dengan tiket kereta), booking airbnb di Bergen (cuma $32!), booking day tour Norway in A Nutshell, booking airbnb di Oslo (lebih mahal, tapi cuma $50an ), dan tiket kereta dari Oslo ke Sandefjord. Kalau nggak salah, total biaya impulsif untuk jalan-jalan dua malam menghabiskan nyaris 8 juta rupiah. Marilah bersama-sama menelan ludah sambil berharap, semoga beneran bagus…
Hal pertama yang aku lakukan ketika mendarat di Bandara Bergen: bengong. Nggak menyangka Bergen yang kukira cuma kota kicik punya bandara syantiek. Lalu, perjalanan naik bus selama hampir setengah jam ke pusat kota, lagi-lagi diisi dengan menatap bengong keluar jendela. Rasanya seperti dilempar ke negeri dongeng. Gunung tinggi menjulang berpuncak salju dengan rumah-rumah mungil berwarna merah bata di lerengnya, disambung gunung tinggi berpuncak salju lagi dengan kelompok kecil rumah-rumah kayu warna-warni, disambung lagi dengan gunung yang lebih tinggi yang dihiasi rumah-rumah kayu aneka warna… tak heran kota ini mendapat julukan salah satu kota tercantik di Norway. Total ada tujuh gunung yang mengelilingi Bergen, dengan bonus rumah-rumah menyeraki lereng-lerengnya, beraneka warna dan ukuran. Kira-kira mirip Arendell di film Frozen tanpa kastil megah di tengah danau saja. Bahkan ketika turun dari bus pun, aku masih menatap danau berlatar gunung dan rumah-rumah dengan mulut terbuka. Astaga, gerbang masuk untuk berpetualang ke fjord di Norway aja cakepnya kayak gini?!
Efek dari kota yang dikelilingi 7 gunung: jalan menuju aibnb yang kusewa menanjak tanpa ampun. Tak kurang lima kali aku berhenti berjalan dengan napas terengah. Untung aku meninggalkan koper di rumah Els. Kalau koper besar itu kubawa, niscaya aku sudah pingsan di tengah jalan. Setelah naik puluhan anak tangga menuju gereja yang tak kuingat namanya, lalu berbelok ke kanan dan menanjak lagi, aku tiba di jalan tempat aku akan bermalam. Pemandangan dari ketinggian tak mampu menghapus lelah walau mataku dimanjakan dengan keindahan yang kata incess Syahrini: terpampang nyata. GILE, CAPEK, YA NEK! Menurut pemilik apartemennya, sih, Cuma 15 menit jalan kaki dari pusat kota. Aku butuh waktu dua kali lipat plus tambahan nyaris sepuluh menit di depan apartemennya untuk memulihkan napas. Beginilah kalau kelamaan nggak olahraga. Bonus: apartemen yang kutempati ada di lantai tiga. BHAIQQQQQ. NANJAK LAGIIIII!
Satu hal yang membuatku bersyukur, mifi yang aku bawa dari Jakarta bekerja dengan baik, nggak pernah rewel sama sekali. Dengan biaya sekitar 100 ribuan perhari dan akses internet 4G berkuota lebih dari 1 giga perhari (kalau pemakaian lebih dari 1 giga, speed akan turun, tetapi akan kembali ke kecepatan full selepas pukul 12 malam dengan kuota penuh lagi), selama pindah-pindah kota di Belanda sampai masuk ke Norway lalu loncat ke Swedia, mifi Passpod yang kupakai tak pernah sekali pun rewel. Begitu modem mobile wireless ini mendeteksi kita pindah negara, ia akan segera mencari sinyal terkuat dan dalam waktu lima menit, internet kencang kembali lagi tanpa kita perlu ngapa-ngapain. Very convenient and practical! Bayangan nggak ada akses internet membuatku merinding. Orang zaman dulu travelingnya gimana, ya? Pake peta buta, kali, ya? Atau bertanya sepanjang jalan kenangan? Aku aja masih suka nyasar walau pun sudah buka google map!
Satu jam kemudian, berbekal petunjuk peta digital, aku menuju pusat kota lagi. Kali ini dengan beban yang lebih ringan karena sebagian besar isi backpack-ku sudah tergeletak tak karuan di kasur kamar. Di seberang Bryggen yang merupakan UNESCO World Heritage Centre yang juga atraksi utama Bergen, aku terpana. Gerimis tak meredakan hasratku untuk berkeliling pinggiran fjord dan mengambil foto dan video dan berkali-kali mengucapkan syukur atas keindahan kota ini. Dingin merasuk tak kurasakan, angin yang membekukan jemari tak kuhiraukan karena aku tau, hanya sekarang lah waktu yang aku punya. Besok pagi aku sudah berpindah, mejelajah bagian lain Norwegia. Dalam hati, aku berjanji, akan kembali lagi dan merekam lebih banyak bagian dari Bergen. Yang kulihat hanya permukaannya saja, seperti menggores satu kalimat pendek di permukaan kertas.
Bayangan harus kembali menanjak dan menaiki puluhan bahkan ratusan anak tangga untuk mencapai apartemen membuatku malas. Puas (well, sebenarnya belum puas sih, tetapi sudah pukul 10 malam, dan aku harus bangun pagi-pagi untuk ke stasiun kereta) berkeliling di seputaran Bryggen dan pusat kota, dalam keadaan basah karena gerimis tak kunjung berhenti, aku memutuskan untuk naik taxi saja. Untungnya, Pak Supir bisa berbahasa Inggris. Kutunjukkan alamat, dia mengangguk, dan dalam waktu 10 menit, aku sudah berjalan menaiki tangga menuju apartemen.
Dari jendela kamar, aku terus menatap kerlip lampu kota Bergen di bawah sana, berusaha mengabadikan kecantikannya, dan akhirnya, setelah memasang 10 alarm (serius, 10 alarm biar nggak bablas!) di handphone, aku tidur. Tentunya, powerbank dan mifi Passpod dan baterai kamera aku charge terlebih dahulu.
Tepat pukul tujuh pagi aku bangun. Begitu melirik keluar jendela, aku bengong. Buset, kenapa kota ini jadi kayak pemandangan di game Silent Hill, ya… Kabut menutupi barisan gunung-gunung dan rumah-rumah berwarna-warni yang menghiasi lerengnya. Bahkan jalanan di bawah sana pun tertutup kabut, membuat orang-orang yang bergerak menuruni tangga menuju pusat kota tampak seperti zombie yang berjalan perlahan. Aku mulai khawatir membayangkan seandainya keindahan fjord dan laut dan gunung dan padang es dan desa kecil yang indahnya spektakuler yang seharusnya aku temui hari itu dengan naik kereta, bus, dan ferry akan tertutup kabut tebal. Aduh… gimana, ini…
To be continued…
P.S: untuk info lebih lanjut tentang mifi passpod, coba cek website mereka, PASSPOD, atau main ke instagram mereka, Instagram Passpod, atau chat langsung ke CS mereka di +628881171819. Responsnya cepat, jawaban atas semua pertanyaannya juga memuaskan. Aku udah beberapa kali pake mifi ini. Dari Korea, sampai ke Belanda – Swedia – Norway. Kencang, sedap, puas.
15 responses to “Norway In A Nutshell (Part 1)”
gfdkss
jkicvf
5130bx
9djr60
qubegk
Incredible work!
I will immediately clutch your rss feed as I can’t to find your e-mail subscription link or newsletter service. Do you have any? Kindly allow me recognize in order that I could subscribe. Thanks.
Oh my goodness! an incredible article dude. Thanks However I am experiencing subject with ur rss . Don’t know why Unable to subscribe to it. Is there anyone getting identical rss problem? Anybody who is aware of kindly respond. Thnkx
kumrxl
7ighff
o9ueoe
fed2m3
With havin so much content do you ever run into any issues of plagorism or copyright violation? My website has a lot of exclusive content I’ve either created myself or outsourced but it appears a lot of it is popping it up all over the internet without my permission. Do you know any methods to help stop content from being ripped off? I’d definitely appreciate it.
uyfghq
bc0zuz