Growing Up and Growing Old


Jari-jemari ringkihnya meraba pinggiran pigura foto yang mengelupas catnya, tak lagi putih, melainkan gading. Foto di dalamnya sudah menempel dengan kaca, sehingga membersihkannya adalah sebuah kemustahilan tanpa merusak foto perempuan itu dan anak-anaknya. Ibu Dian duduk di bangku mungil dari rotan pemberian anak pertamanya, sambil memeluk foto mereka satu-satunya di ruangan itu. Sudah dua tahun sejak ia terakhir bertemu anak-anaknya. Sudah enam bulan sejak anak-anaknya terakhir menghubunginya.

“Mereka pasti sibuk sekali”, desah Bu Dian dalam diam. Bu Dian menatap wajah-wajah tertawa anak-anak dan dirinya di pigura sekali lagi, kemudian ia mengulangi ritual yang tak pernah ia lewatkan setiap hari; mengelap pigura dan kacanya dengan kain bersih yang lembap, lalu meletakkan kembali foto itu di tempatnya, di tengah-tengah foto wisuda ke tiga anaknya.

————

Di ruangan yang serba putih itu, Angel sedang berdebat sengit dengan rekan-rekan kerjanya. Makin lama, suaranya makin meninggi.

“Ya nggak masuk akal aja kalau kita serahkan semua tanggung jawab ke vendor! Apalagi vendornya belum jelas gimana kerjanya! Kalau event-nya sampai berantakan, siapa yang tanggung jawab? Aku!”

Angel menarik napas dalam-dalam, berusaha menekan emosinya. Saat hendak berbicara kembali, handphonenya berkedip. Begitu melihat isi pesan yang masuk, Angel tersentak. Wajahnya pias.

“Sorry, aku harus pergi.”
“Lho, Ngel? Masalah vendor….”
“Kalian bereskan sendiri.”

Sesasat kemudian, pintu ruangan meeting terbanting menutup. Angel sudah menghilang di balik pintu.

————

“Coba dibuka mulutnya… Akkkk….”

Anak kecil itu menurut. Matanya melirik ke arah dokter gigi yang tersenyum menenangkan. Pintu ruangan praktik terbuka, sahabat Jess, Naomi, menunjukkan hape ke arah Jess.

“Sorry, Jess… Barusan ada telpon.”

Tanpa melirik, Jess menukas sambil memeriksa kondisi mulut pasiennya.

“Ntar aja!”
“Eh, ini pen…”
“Ntar aja, Mi. Ntar, ya? Oke?”

Naomi bimbang di depan pintu, tapi ia mundur, dan menutup pintu ruangan praktik.
Setengah jam kemudian, Jess termenung menatap handphonenya.

“Kok lo gak bilang, sih, Mi…”
“Yaelah, Jess. Gue ngomong aja lo potong. Sana deh, lo pulang.”

Ketika mengangkat wajahnya, dua baris airmata sudah mengalir di pipi Jess. Tanpa berkata-kata, Naomi memeluknya.

————

Di jalan Gatot Subroto yang biasanya macet, sebuah sedan hitam melaju lancar.

“Saya sepuluh menit lagi tiba, Pak. Iya. Semua berkas sudah ada di sekretaris saya. Siap! Sampai bertemu.” Evan nyengir senang, membayangkan meeting yang akan membuatnya menjadi pahlawan di kantornya. Handphone Evan kembali berdering. Sebuah pesan masuk. Senyum Evan pupus seketika ketika membaca pesannya.

“Pak, nggak jadi ke kantor. Langsung ke bandara, ya.”

Evan menutup wajahnya dengan kedua tangan, dan sesaat kemudian, bahunya naik turun, isakannya terdengar lirih.

————

Angel, Jessica, dan Evan saling berpelukan di depan rumah tempat mereka dibesarkan. Mata mereka sembap, dan mereka menghela napas berbarengan, lalu masuk ke dalam rumah. Di dalam, cahaya remang dan hawa sejuk menggulung mereka bertiga, membawa mereka kembali kepada kenangan masa kecil. Ketika mama mereka menyajikan bubur ayam spesial di meja makan, membantu mereka mengerjakan PR, tertawa bersama mereka, menggendong mereka satu persatu ke kamar saat mereka kelelahan setelah bermain dan tertidur di karpet ruang tengah.

Angel meraih tangan Jessica yang meraih tangan Evan, bermaksud saling menguatkan. Angel melirik ke arah dua adiknya, agak heran atas rumah yang sepi dan tenang. Mereka melangkah masuk ke ruang makan, dan tertegun.

Di meja, sudah tersedia semua makanan kesukaan mereka. Bolu pandan dan sate ayam kesukaan Evan, lontong sayur lengkap dengan opor ayam kesukaan Jess, soto betawi dan emping besar-besar kegemaran Angel. Ketiganya terperanjat, bertanya-tanya, keheranan. Beberapa saat kemudian, dari dapur, Bu Dian muncul dengan baki berisi teh hangat. Tas tangan Angel terlepas dan jatuh ke lantai. Jess dan Evan serentak berseru, “MAMA?! T… tapi… SMS yang kami terima… YA ALLAH, MAMAAAAA!”

Bu Dian menaruh teh hangat ke meja, dan tersenyum ke arah anak-anaknya.
“Kalian sudah pulang…”

Semua anak-anaknya langsung menghambur memeluk mamanya. Mereka bertiga menangis tersedu. Dada Bu Dian buncah oleh kebahagiaan. Tak henti-hentinya, ia mengelus kepala anak-anaknya satu persatu.

“Mama senang, kalian makin sukses…”
“Maaa.. Maafin Angel, Ma. Angel durhaka nggak pulang atau ngabarin…” Tangis Angel kembali pecah. Jess berulang kali mencium tangan mamanya dengan wajah berlinang air mata, sedangkan Evan menangis tanpa suara.

Ketika akhirnya tangis mereka sudah reda, Bu Dian meminta mereka duduk. Evan menanyakan hal yang sudah mengganjalnya sedari tadi.

“Berarti Bu Karyo bohong, ya, Ma? Keterlaluan!”
“Iya, ih. Jahat banget…” Timpal Jess.
Bu Dian tersenyum. “Mama yang minta ke Bu Karyo…”

Ketiganya tersentak. Semuanya menatap Bu Dian hampir tanpa kedip, menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Kalau nggak begitu, kalian nggak mungkin pulang bareng ke rumah, kan? Jadi ya Mama minta tolong ke Bu Karyo untuk mengabari kalian kalau Mama meninggal… Tuh, manjur. Kalian di sini semua. Makanya Mama masak yang enak-enak untuk kalian…”

Rasa bersalah menerpa ketiga anak-anak Bu Dian, membuat mereka kembali menangis.

“Mama paham sekali kalian punya hidup sendiri-sendiri… punya kesibukan sendiri…”

Ketiganya kembali tertohok.

“Mama sama sekali nggak marah. Mama paham. Dan Mama bangga sekali sama kalian bertiga. Angel makin sukses di agency, Evan sebentar lagi jadi partner di kantor, dan Jess… kamu dokter gigi yang hebat sekali, Nak…”

Kalimat selanjutnya keluar terbata. Bu Dian setengah mati menahan airmatanya agar tak keluar. “Mama cuma berharap, sebulan sekali kalian mau menelepon Mama… Coba, Angel, Jessica, Evan, kapan kalian terakhir SMS atau whatsapp atau menelpon Mama?”

Ketiga anaknya menunduk. Air mata menetes satu persatu. Dalam hati, mereka berjanji untuk lebih memerhatikan dan peduli pada mamanya. Mereka kembali mencium tangan Bu Dian, memohon pengampunan. Bu Dian mengelus kepala anaknya satu persatu, sama sekali tak marah, setiap usapannya adalah luapan kasih sayang yang tak pernah putus. Ia hanya bahagia, anak-anaknya sudah kembali ke rumah, walau dengan cara yang tak biasa.

————

Seminggu kemudian, Bu Karyo menatap Bu Dian dengan sungguh-sungguh.
“Jadi mereka semua pulang?”
Bu Dian mengangguk.
“Terus, mereka berjanji akan pulang lagi? Sering-sering?”
“Ya ndak bisa sering-sering, toh, Bu Karyo. Anak-anakku kan punya hidup masing-masing… Tapi iya, mereka ndak akan pulang dua tahun sekali. Mereka ndak akan nunggu SMS bohong yang ngasih tau bahwa ibunya mati baru pulang.”

Keduanya tergelak. Lalu, dengan kening masih berkerut-kerut, Bu Karyo memegang tangan Bu Dian.

“Ibu Dian mau bantu saya, toh? SMS ke anak-anak saya? Saya rindu sekali…”
Bu Dian mengangguk. “Kalimatnya seperti yang Bu Karyo kirimkan ke Angel, Jess, dan Evan, kan?”
Bu Karyo mengangguk-angguk. Semangat sekali. Bu Dian mengetikkan sebaris kalimat. Dia menatap Bu Karyo sebelum mengirimkannya. “Yakin, nih, Bu?”
“Wes, toh. Kirim saja!”
“Nita, Mama kamu meninggal. Harap pulang segera.”
“Tuh, sudah kukirimkan.”
Keduanya lantas cekikikan. Anak Bu Karyo akan pulang.

————

Tulisan ini terinspirasi oleh sebuah iklan luar negeri yang beberapa bulan lalu aku tonton (sayangnya aku lupa iklan apa dan dari negara mana). Pesan dari iklan ini begitu kuat dan ceritanya sungguh menohok.

Pernah baca kalimat ini, nggak?

We often forget that while we’re growing up, our parents are also growing old.

Ketampar banget sih sama kalimat ini. Kita memang kerap melupakan orang yang merawat kita sepenuh hati dari kecil. Kita kerap alpa dan menganggap mereka pasti mengerti dengan segala kesibukan kita. Kebayang, nggak, bagaimana bahagianya orang tua kita jika setiap hari, satu atau dua menit saja, kita luangkan waktu untuk menanyakan kabar mereka? Buat yang tinggal sekota atau serumah dengan orang tua, mungkin tak akan menjadi banyak masalah karena walau tak berkabar, orang tua masih bisa melihat kita. Namun, bagi yang merantau, terpisah kota maupun negara, mendengar kabar dari anak-anak mereka, bisa jadi hiburan satu-satunya untuk orang tua.

Ini adalah pertanda kita mengingat mereka, bahwa kita peduli, bahwa kita sayang, meski lewat sebaris chat sederhana, “Ma, Pa, lagi apa?”

Mereka tak perlu mengirimkan SMS palsu yang mengabarkan bahwa mereka sudah meninggal, hanya untuk membuat anak-anaknya ingat, dan pulang ke rumah.