I Just Wanna Love You


Saat pertama kali menonton videoklip lagu Gloria Jessica yang I Just Wanna Love You, pikiranku melayang ke masa kecil. Mungkin sebagian besar dari kalian punya masa kecil yang indah bersama keluarga. Punya mama yang penyayang, sabar, membuat kalian merasa begitu dicintai. Tak demikian dengan yang kurasakan saat kecil dulu. Sepanjang ingatanku, aku nggak punya hubungan yang baik dengan Mama di masa kecil. Bahkan, aku takut sekali begitu melihat Mama. Padahal, aku serumah dengan beliau, yang artinya bertemu hampir setiap saat. Mamaku orangnya keras, nggak segan menghukum jika menurutnya aku berbuat salah, dan … beliau pilih kasih.

Salah satu memori yang paling melekat adalah ketika adikku berulang tahun dan dirayakan. Satu gang di kampung diundang. Kue ulang tahunnya dua tingkat, berhias krim warna-warni yang tampak amat lezat. Saat itu, yang kurasakan adalah cemburu, iri, dengki, dan sakit hati. Cemburu, iri, dan dengki ke adik yang ulang tahunnya dirayakan. Sakit hati karena Mama sepertinya hanya menyayangi adikku, dan aku diperlakukan seperti anak pungut. Sekitar pukul dua sore, aku berjinjit mendekat kue ulang tahun yang terpajang cantik di meja di ruang tamu yang kosong. Dalam satu gerak cepat, aku merusak bagian belakang kue ulang tahun itu. Aku cengkeram kuenya, lalu aku kabur. Dari depan, sih, kuenya tetap terlihat sempurna. Aku ingat betul, sambil menjilati jemari yang berlumur krim, aku merasa amat sangat puas sudah membalas dendam ke Mama dan adik. Ini hukuman karena Mama tak menyayangiku! Ini balasan karena dia sudah pilih kasih!

Tentunya kelakuan burukku ketahuan. Namun, walau dikurung di kamar mandi selama berjam-jam, aku tak menyesal. Rasa puas itu terpelihara sampai bertahun-tahun. Setelah papaku meninggal dan Mama harus bekerja di luar negeri, aku merasa bebas. Beberapa tahun pertama, aku tak merasakan rindu. Bagaimana tidak? Tak ada yang mengomeli saat aku tak mengerjakan PR, tak ada yang menghukumku dengan berlutut di atas kulit kerang di pintu rumah jika hasil ulanganku jelek (jelek versi mamaku adalah nilai 8 ke bawah. 9 artinya lumayan. 10 artinya senyuman tipis), dan tak ada yang membentak jika aku menambah lauk atau nasi. Aku bebas. Aku mulai memupuk rasa benci ke Mama, sampai aku dewasa.

Ketika aku sudah mulai bekerja, Mama sempat pulang ke Indonesia beberapa kali. Tentu saja aku menemui beliau. Walaupun masih benci, beliau tetap orang yang melahirkanku. Percakapan kami hanya bergulir di ‘bagaimana kerjaan?’ – ‘baik’ – ‘makannya cukup?’ ‘cukup’ – ‘udah punya pacar?’ yang kubalas dengan diam. Aku tak tahu apa yang menyebabkan hubungan kami berangsur membaik. Yang kuingat, suatu hari aku bertanya ke diri sendiri: apa motivasi terus membenci? Memangnya nggak capek? Mau sampai kapan benci ke orang tua sendiri? Emangnya mau, ya, nanti menyesal ketika beliau sudah tak ada? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini mulai melunturkan hawa benciku. Tetapi, aku juga belum bisa memaafkan, merelakan, apalagi melupakan perlakuan beliau semasa aku kecil. I need an explanation. I need to see from her perspective.
And suddenly… I miss her. Even though I still hate her, I miss her.

Maka, aku merancang sebuah misi. Misi perdamaian sekaligus misi untuk mengerti motivasi Mama. I was willing to listen to her side of the story. Kenapa dia merayakan ulang tahun Adik, tapi aku nggak? Kenapa yang dikuliahkan adalah adik, dan bukan aku? Kenapa adikku selalu menerima perlakuan istimewa sedangkan aku selalu diperlakukan dengan sangat keras? Ada banyak sekali ‘kenapa’ yang bergaung di kepala sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Hong Kong. Ternyata jauh di dasar hatiku, aku masih seorang anak kecil yang membutuhkan pengakuan kasih sayang yang hampir tak pernah aku terima. I was like a wounded animal, looking for shelter.

Jadi, bertemulah aku dengan Mama. Beliau tampak benar-benar bahagia melihatku. Suatu malam, setelah capek jalan-jalan berkeliling Hong Kong, dengan bekal eggtart hasil jajan di KFC, aku mulai menumpahkan segala keluh kesahku. Puluhan tahun sakit yang kupendam, kukeluarkan semua. Mama hanya terdiam mendengar ocehanku malam itu. Setelah aku selesai, ada jeda mengisi jarak antara kami.
“Kamu tahu nggak, semenjak kamu kecil, Mama sudah tahu kamu nantinya yang berpotensi menjadi ‘orang’?” Beliau yang duluan akhirnya buka suara.

Aku tak mempersiapkan diri untuk menerima jawaban semacam itu. Mama melanjutkan ceritanya, bagaimana ia dengan sengaja bersikap keras kepadaku, bagaimana beliau mengajariku dengan keras supaya aku terbiasa hidup mandiri, tak tergantung pada orang lain, walau itu artinya dibenci anak sendiri. Saat kudesak mengapa dia lebih sayang ke adikku, jawabannya lagi-lagi menohok. “Waktu adikmu lahir, ekonomi keluarga kita mendadak membaik. Kita semua mampu beli apa saja yang kita mau. Dia diramal sebagai anak pembawa rezeki….”

“Aku pembawa sial, gitu, Ma?”

“No. You were always the strongest one. Terbukti sampai sekarang kamu baik-baik saja.”

The thing is, aku tak merasa baik-baik saja, dan aku tahu beliau tahu hal itu. Akhirnya, beliau meminta maaf karena sudah pilih kasih. Aku pun meminta maaf sudah menghancurkan kue ulang tahun adikku. Malam itu, untuk pertama kali setelah puluhan tahun, aku merasa utuh. Sisa benci yang tersisa, menguap begitu saja ketika beliau memelukku untuk pertama kali setelah bertahun-tahun kami berjarak. Beliau mungkin memilih cara yang tak biasa, tetapi dari percakapan malam itu, aku tersadar satu hal: tak ada orang tua yang membenci anaknya.

Pulang dari Hong Kong, aku meresapi ucapan Mama. Ternyata beliau benar. Berkat didikannya yang superkeras, aku jadi lebih siap menghadapi hidup. Aku jadi tahu bahwa lebih baik bertumpu kepada pencarian solusi ketimbang manja dan lemah ketika dihadapkan dengan masalah.

Tahun-tahun selanjutnya, hubungan kami amat sangat baik. Aku hampir tiap hari whatsapp-an sama Mama. Beliau juga sering bercerita mengenai hari-harinya, apa yang dia lakukan, kejadian lucu yang terjadi, video-video garing yang memancing tawanya – yang sialnya, semua berbahasa Kanton, beliau kirimkan dengan komentar “Mama ngakak nonton ini. Kamu juga pasti ketawa!”, dan tentunya, aku tak tertawa sama sekali karena tak mengerti.

Katanya, better late than never. Aku mungkin terlambat mengukir kenangan bersama mama, tetapi aku tetap bersyukur karena kenangan yang kami punya lengkap. Mulai dari kenangan yang tak menyenangkan, sampai kenangan yang selalu membuatku tertawa, seperti ketika aku berniat memberi kejutan dengan mengetuk pintu apartemennya di Hong Kong, eh ternyata yang membukakan pintu adalah orang asing. Mama hampir jatuh dari kursi karena ketawa ketika aku menceritakan bagaimana aku nyasar.

Hidup adalah perkara menciptakan dan merawat kenangan, dan aku berniat membuat kenangan bagus bersama Mama sebisa mungkin. Beliau kini tak lagi muda. Aku tak pernah tahu berapa banyak waktu yang masih tersisa untuk kami menciptakan kenangan. So while we can, we’re gonna create as much as good memories as we could. And I think, you should too.

Sekarang, menonton kembali video I Just Wanna Love You-nya Gloria Jessica, aku merasa senang. Pada akhirnya, orang tua kita akan mengenang hal-hal baik tentang kita, anaknya, dan tak sabar menanti kita pulang untuk sekadar berbincang.

“I just wanna love you tonight, I just wanna be with you my love
All I wanna do is to be by your side. I just wanna love you tonight….”

Now that you’ve read this far, how about telling your version of a story about ‘Making Memories’? Bagaimana cara kalian untuk menciptakan kenangan bersama orang-orang terdekat dan terpenting dalam hidup kalian misalnya, orang tua, kakak, adik, sepupu, kerabat, atau sahabat? Untuk jelasnya, klik INI dan atau INIH

Sudah membaca kedua link tersebut dan masih belum jelas? Ah, kamu… Ya sudah, coba lihat foto berikut:

Nah, sudah jelas, ya? Silakan ramaikan instagrammu dengan cerita-cerita hangat tentang apa yang kamu lakukan untuk menciptakan kenangan bersama yang tersayang. Ditunggu ceritanya, dan semoga kamu yang menang jalan-jalan ke Bali bersama dia yang kamu sayang!