TIGA KATA – Freestyle Writing


Mau berbagi dikit tentang menulis, ah.

Di Jakarta School (lokasinya di Sektor 1 Bintaro, Twitternya @JKTSchool), gue diajari tentang freestyle writing. Caranya simpel banget. Amati sekelilingmu, lalu pilih 3 buah objek, dan pergunakan 3 objek itu menjadi satu cerita.

Nah, minggu kemarin, guru gue, Mas AS Laksana, menunjuk muridnya satu persatu, menyuruh kami menyebutkan satu kata yang terlintas di kepala. Dari ujung telunjuknya yang menunjuk ke kami, keluarlah kata “Laut”, “Bunga”, dan “Mobil”. Lalu gue bengong. Gimana caranya membuat adegan dari kata ‘laut’, ‘bunga’ dan ‘mobil’? Tiga kata itu kan sama sekali nggak berhubungan, kan? Apalagi, kami cuma dijatah waktu sekian menit.

Namun di sini lah tantangannya. Bagaimana berpikir cepat memanfaatkan kata-kata yang sudah dipilih untuk membuat sebuah cerita. Hasilnya adalah seperti di bawah.

 

Banyak yang bilang waktu itu relatif. Lama atau sebentar, tergantung persepsi orang yang sedang mengalaminya. Seperti aku. Menunggu kehadirannya selama 3 jam tak terasa lama. Waktu tau-tau berlalu begitu saja. Aku menikmati air laut yang berulang kali menyapa telapak dan jari-jari kedua kakiku. Aku menikmati semilir angin yang berembus dari arah laut. Aku memejamkan mata untuk merasakan tekstur halus pasir putih yang kadang terasa menggelitik telapak kaki, dan menyusup ke sela-sela jari. Aku kerap tersenyum menatap ombak-ombak kecil yang berkejaran, lalu memecah menjadi buih-buih putih. Penantian ini bukanlah sebuah siksaan. Ini adalah semacam tamasya.

Namun, seikat mawar merah yang tak terlepas dari genggamanku sedari tadi rupanya sudah menjerit tak setuju. Ia menjerit karena angin berembus terlalu kencang sehingga beberapa kelopaknya tercerabut dan terbawa angin, lalu menari bersama buih-buih di laut. Lebih lama lagi aku berdiri di sini, mungkin yang tersisa di tanganku hanyalah seikat batang-batang mawar, tanpa bunganya.

Menyerah tak pernah menjadi sifatku. Haikal sudah berjanji, dan ia bukanlah tipe orang yang mengingkari janjinya, ataupun membatalkan janji tiba-tiba tanpa memberitahukannya kepadaku. Jadi, aku bertahan. Tetap menatap laut. Mengabaikan terik matahari pukul 3 sore. Menikmati angin yang mengacak-acak rambutku, sambil berharap, sewaktu Haikal tiba, mawar-mawar ini masih bertahan.

Deru halus mesin mobil membuatku pertama kalinya semenjak tiga jam terakhir memalingkan pandangan ke belakang. Haikal! Harapanku tak berbuah senyum kali ini. Bukan Haikal yang turun dari mobil itu.

“Michan, pulang, yuk?”

“Haikal …”

“Itu sebabnya kamu harus pulang.”

Waktu mendadak berhenti sewaktu pandangan kami bertemu. Di wajah perempuan itu, aku melihat dua garis bekas airmata yang mengering. Angin kembali menerbangkan kelopak-kelopak terakhir mawar yang kugenggam, dan membawa serta hatiku bersamanya.

Aku tak sanggup bertanya apa yang terjadi kepada perempuan di sampingku. Mata bengkaknya sudah menjelaskan semua. Aku tak perlu tau setiap detail. Aku harus tau setiap detik yang terjadi! Aku tak ingin tau. Aku sungguh ingin tau! Keingintahuan membunuhmu. Ketidaktahuan menyiksamu! Dan keinginan untuk bertanya sedang bertempur dengan keinginan untuk abai. Satu-satunya suara yang terdengar di dalam mobil ini hanyalah canggung yang menggantung di udara yang berpadu dengan halus deru mesin mobil.  Pertempuran kali ini dimenangkan oleh cinta.

“Di mana Haikal?”

“Nanti.”

“Nggak. Aku harus tau sekarang.”

Matanya tetap lurus menatap jalanan. Sama sekali tak melirikku. Dia tetap tenang, namun aku bisa melihat jari-jarinya yang sedikit bergetar walaupun ia menyamarkannya dengan mencengkeram setir mobilnya erat-erat.

“Kak Windy, tolong …”

Aku bahkan bisa mendengar napasnya yang tertahan. Mungkin saat ini Kak Windy sedang memilih kata-kata terbaik. Kata-kata yang tak menyakitkan. Kata-kata yang tak meruntuhkan semangat. Kata-kata penghiburan.

Aku sedang tak ingin dihibur.

“Michan … Aku sungguh tak ingin bercerita. Setidaknya, tidak di mobil ini.”

“Kak Windy. Kakak tau apa arti Haikal buatku. Jadi … aku mohon…”

Terdengar suara napas yang kembali tertahan. Aku sudah siap dengan kemungkinan bahwa Haikal sudah pergi ke tempat yang tak terjangkau. Haikal yang sudah bertemu dengan bidadari-bidadari.

“Haikal pergi …”

Aku bisa merasakan asin darah yang perlahan menyebar di dalam mulut akibat bibir bawah yang sengaja aku gigit kuat-kuat, bercampur dengan pahit ludah dan kenyataan dan kalimat singkat Kak Windy barusan.

“Haikal pergi.” Kali ini, kata-katanya lebih tegas. Dengan mata yang tetap menatap jalanan, dengan jari yang masih sedikit gemetar, dan aku bisa merasakan satu persatu bagian tubuhku mati saat Kak Windy menyambung kalimatnya.

“Dia tak akan menikahimu, Michan. Kakak minta maaf.”

Aku ingin menangis. Aku sungguh ingin menangis. Namun, aku tak bisa. Ada ribuan belati yang terbuat dari bilah es tipis yang dihujamkan jutaan kali ke dadaku. Membuatnya kosong. Dingin. Aku mati rasa.

 

 

Jangan tanya kenapa dalam waktu sekian menit, cerita/adegan yang muncul adalah cerita yang galau. Hihi.

Begitulah. Tehnik ini berguna banget kalau lagi stuck dalam menulis. Istilah kerennya, writer’s block. Monggo dicoba. Siapa tau berhasil memecah bata-bata bandel yang menghalangi inspirasi. ^^


7 responses to “TIGA KATA – Freestyle Writing”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *