26 Days in Europe: Amsterdam – Kinderdijk; Windmills and Chill


Iya, tau. Harusnya kemarin posting blog. Iya, tau. Harusnya pas Sabtu posting dua. Ternyata aku tak menepati janji. Cedih. Tapi gimana dong, aku kan pemalas. Masih bagus udah posting *loh kok nyolot* Maafkan! Ini posting lagi, kok.

Buat yang nanya, kenapa postingannya masih belanda lagi, belanda lagi? Karena oh karena, gue di Belanda 7 malam. Kenapa kok sampe 7 malam? Karena niat awalnya, 4 malam pertama di Belanda, 4 malam selanjutnya di Belgia. Eh, terjadinya di Brussels Lockdown sehingga gue rada parno dan memutuskan untuk selow dulu di Amsterdam. Jadinya, di Belgia cuma dua malam, deh. But hey, nggak nyesel sama sekali kok. Soalnya memang banyak banget yang bisa dieksplor dari negara kecil ini.

Salah satunya, Kinderdijk. Udah pernah ke sini? Apa baru denger? Yang baru tau ada tempat bernama ‘kinderdijk’, gak usah minder. Gue juga baru tau pas di Belanda. Setelah merencanakan akan ke negara mana saja, gue akan berhenti di situ. Paling bikin mental note mau ke lokasi mana aja, yang ikonik, tourist attraction. Udah. Gitu doang. Nah, di hari ketiga di Amsterdam, gue mulai iseng googling enaknya ke mana, sambil tanya-tanya di Twitter. Salah satu follower ngasih tau, ke Kinderdijk aja. Karena namanya asing, googling lah gue. Pas liat fotonya, WAH KOK BAGUS YAAAAA. Gue langsung cari info how to get there yang ternyata, yaelah, lo naik kereta aja. Gampang. Naik kereta apa? Dari Amsterdam Centraal, coba ke bagian informasi. Tanya di sana. Gue gak akan kasih tau di sini biar kalian nggak malu bertanya. *padahal alasan aslinya, gue lupa wkwk*

Amsterdam Kinderdijk 4

Amsterdam Kinderdijk 19So, Kinderdijk. Alasan utama gue pengin ke sini adalah karena pengin liat kayak apa sih, tempat yang dijadikan Unesco Heritage Site ini? Selain itu, gue pengin liat kincir angin khas Belanda juga, sih.

Setelah bayar tiket dan melihat jajaran kincir angin di kejauhan di kiri kanan, gue berjalan. Pelan. Nggak terburu-buru. Toh tak ada agenda ke mana-mana. Baru berjalan beberapa puluh meter, di sebelah kiri gue terlihat kincir angin yang bentuknya unyu. Beda dari yang lainnya. Gue selalu tertarik sama sesuatu yang ‘out of place’. Yang nggak biasa. Yang menonjol. Tapi bukan di tengah celana. Udah punya kalau itu. Jadi, gue melintasi rumput yang menjadi pembatas jalan aspal di kanan kiri. Awalnya gue agak ragu karena di tengah-tengah rumput kok kayaknya becek berlumpur gitu. Tapi gue meyakinkan diri. Yakali di Belanda ada got di tengah rumput gitu…

CEPROT. Sepatu boot kanan kejebur di tanah gembur. Gue panik dan berusaha loncat. Untung nggak jatuh dengan pantat nungging dan dua tangan melambai-lambai plus wajah menyapa rumput duluan. Bisa berubah jadi niggah sipit gue kalo wajah ketemu lumpur. Jadi posisi gue, tangan kanan terangkat tinggi-tinggi karena kamera ada di situ, tangan kiri melambai-lambai untuk menyeimbangkan badan, kaki kiri masih di rumput empuk, dan kaki kanan separuh boot njeprot di lumpur. Bagus banget. Keren. Hebat. Setengah memaki, gue berjalan lagi. Kali ini, gue memastikan untuk tetap berada di atas aspal. Well, at least for 20 minutes or so.

Amsterdam Kinderdijk 9

Dua puluh lima menit berikutnya, gue sudah menyusuri jalan tanah untuk mengamati deretan kincir angin dari dekat. Lumpur what? Udah lupa, tuh.

Amsterdam Kinderdijk 23

Rasanya seperti memasuki dunia yang sunyi ketika melangkah masuk ke Windmill Museum yang beneran berada di dalam windmill. Aroma masa lalu menyeruak dan menerbangkan gue kembali ke masa berpuluh, bahkan beratus tahun yang lalu. Seiring anak tangga yang gue pijak, gue bisa melihat bagaimana kincir angin berputar, tempat tidur mungil yang digunakan penjaga kincir beserta keluarganya. Walau kecil, tampaknya nyaman bergelung ramai-ramai di musim dingin. Dapur yang juga kecil dengan langit-langit rendah. Gue membayangkan air yang dijerang, sup yang meletup di panci, pie labu yang menguarkan aroma sedap. Di seberang dapur, ada sebuah lemari yang sudah tua, tempat menaruh piring, garpu, pisau. Alat memasak yang setengah berkarat. Oven tua yang dulunya rajin mengepulkan wangi roti yang dipanggang. Dinding batu dingin yang menjadi saksi bagaimana penjaga windmill bercengkerama bersama keluarganya. Kini, atas nama renovasi dan supaya terlihat lebih ramah, ia dicat putih cerah dengan bagian bawah sewarna bata. Lalu, ada lemari baju. Mungkin dulu lemari baju ini berisi topi kain yang dipakai istri penjaga kincir. Celana bahan kasar yang digunakan sehari-hari, dipakai ke ladang, naik perahu keliling kanal, bretel/suspender yang setia menggantikan fungsi ikat pinggang. Mungkin dulu lemari ini juga berjejal selimut perca nan tebal. Yang walau tua, tetap menghangatkan malam-malam bersalju.
DSCF5949
DSCF5950
DSCF5951
DSCF5952
DSCF5956
DSCF5957

Sepertinya, gue terdiam di pojok ruang bundar ini lebih dari 15 menit, membayangkan kehidupan orang yang tak gue kenal. Meraba jejak-jejak masa lalu yang mereka tinggalkan dalam benda-benda berkarat, berbau besi dan apak, dan dinding batu dingin abu kehijauan. Sudahkah gue ceritakan, bahwa gue sekarang sangat menyenangi museum?

Setelah kunjungan ke museum ini, gue tak berniat lagi untuk memotret membabi buta. Gue memilih ke museum satunya, yang berbentuk windmill tapi aneh. Kalau windmill standar bentuknya panjang lonjong dan besar (hayo, jangan ngeres…), windmil yang ini bagian depannya berbentuk rada jajaran genjang. Dengan bangunan dasar yang juga rada kotak, windmill ini tampil aneh sendiri. Kayak robot berwajah baling-baling.

Amsterdam Kinderdijk 20

Amsterdam Kinderdijk 14

Amsterdam Kinderdijk 5

Amsterdam Kinderdijk 10Di belakang windmill aneh ini, ada spot enak buat merenung. Nangkringlah gue di situ selama hampir dua jam. Waktu kosong ini gue manfaatkan untuk melakukan satu hal keren: nggak ngapa-ngapain selain mengamati pengunjung yang bisa dihitung sebelah jari.

Amsterdam Kinderdijk 3jpg

Ada satu turis yang gue asumsikan: orang cina, karena… well, sipit dan berkulit kuning langsat kayak gue. Dia di Kinderdijk naik sepeda. Ketika melintasi jembatan menuju Windmill Museum, kami berpapasan. Melihat gue pegang kamera, dia menegur. Suaranya hangat, aksen bahasa inggrisnya sama sekali nggak ‘berbau’ cina. Lebih ke british english malah.

“Hi, could you take my picture, please?”
tanyanya sambil mengulurkan iphone 6-nya.
Gue mengambil handphonenya, lalu menatapnya dan bercanda, “you’re not afraid i’m gonna runaway with your phone?”
“You’re on foot, i’m with bike. so… no. I trust you. haha!”
“Good point!”

Kami sama-sama tertawa. Gue mundur beberapa langkah, mengkomposisi, dan motret sekali. Karena nggak puas, gue menyuruhnya turun dari sepeda, menuntun si sepeda ke arah gue, dan mengambil beberapa foto lagi. Dia mengamati hasil foto, menatap gue, mengamati fotonya lagi, menatap gue lagi.

“Wow… These are… very good. You are good. Are you a photographer?”
“Not quite there yet. But yeah, I’d love to be one.”
“Thanks, man! Good eyes!”

Gue nyengir, dan berjalan ke arah windmill aneh. Dan sekarang, setelah amprokan di jembatan putih menuju Windmill Museum, kami kembali bengong di belakang windmill aneh. Menatap ke seberang kanal, memerhatikan orang yang lewat berjalan kaki, bebek yang berenang dalam diam, angsa yang sesekali meleter, dan pengendara sepeda yang lewat sesekali.

“Where are you from?” gue mencoba membuka percakapan setelah sama-sama diam selama beberapa belas menit.
“China.” TUH KAN GUE BENER. DOI TURIS CINA! BLELELELELE.
“For a Chinese, your English is excellent.”
“I have to because I study in London.”

Kami tertawa lagi. Nggak tau apa yang lucu. Yang namanya ketawa, nggak harus karena ada yang lucu, bukan? Melihat dia mengambil handphonenya, gue berinisiatif untuk memotretnya dengan latar kanal dan kincir angin.

“Let me take your pictures.”
“Mmm… I’m okay…”
“Oh, c’mon. You think I didn’t see you take selfies with your camera? While it’s kinda cool, it’s also a bit… sad.”
Sialan. Ketahuan deh udah selfie nggak penting tadi. Setengah malu setengah mupeng karena background yang bagus, gue menyerahkan kamera, sambil ngasih tau harus pencet yang mana.
Dua kali jepret, gue harus mengakui, difoto itu hasilnya lebih oke ketimbang selfie sendiri. #youdontsay

Amsterdam Kinderdijk 18

Setelah hening beberapa lama, dia pamitan.
“Hey, thanks for the photo. Gotta go. By the way, I am serious. Your eyes are really good. I know you’ll be a great photographer someday.”
“Thanks! Really appreciate it. I wish you all the fun with your study!”
“Yea, right. I’d rather backpacking around the world. But hey… London’s not so bad. Take care!”
“Bye!”

Kami tak berkenalan. Tak saling tau nama. Mungkin kalau bertemu lagi, gue nggak akan mengenali wajahnya. But it’s okay. Pujian ‘good eyes’nya yang membuat gue geer, akan selalu gue ingat.

Amsterdam Kinderdijk 17

Adakalanya, ketika gue kumat, gue bisa diam berlama-lama di satu tempat hanya untuk memotret sekali. Di bayangan gue, kanal, rumput kering, langit biru berawan, sebatang pohon dan kincir angin akan membentuk komposisi yang lucu banget, kalau setelah pohon dan kincir ada orang yang lewat naik sepeda. Momen ini tergambar jelas dan sedemikian jernih di kepala gue. Namun, tak ada sepeda yang lewat. Sekalinya ada, gue sedang bengong sehingga telat mengangkat kamera. Setelah bersabar hampir setengah jam, gue mendapatkan juga shot yang gue mau. I know, I am weird. Dan untuk seorang Alex yang supertaksabaran, menunggu hampir setengah jam untuk mendapatkan satu foto adalah prestasi besar. Idealnya, orang yang naik sepeda melewati kincir dan pohon memakai coat merah. Tentunya gue tak berani memaksakan keberuntungan gue. Udah bagus ada yang naik sepeda dan bisa gue potret.

Ada kesenangan yang aneh ketika berhasil mendapatkan foto sesuai bayangan. Saking senangnya, selama beberapa minggu, gue menyimpan foto itu. Gue lihat berulang-ulang. Berkali-kali. Setiap kali dengan senyum tersungging. It’s the sense of scale that makes this photo special. Dan tentunya, kesabaran yang mendadak muncul.

Sisa hari gue habiskan dengan menjelajahi area luas Kinderdijk, berkeliling ke semua, 19 kincir angin. Gue bersyukur tak banyak turis yang tumpah ruah di tempat tenang nan damai ini. Penduduk lokal dengan anjingnya, ibu-ibu dan bapak-bapak berwajah ramah, beberapa orang Kanada yang berpapasan dengan gue lalu salah satunya menanyakan bagaimana cara mengoperasikan DSLR Canon yang baru ia pinjam dari temannya (gue berusaha sebisa mungkin memberitahu settingan kamera walau gue nggak ngerti pake Canon gimana namun anehnya dia happy banget karena berhasil motret. Rupanya, selama tiga jam terakhir, dia nggak berhasil memotret pake DSLR canggih itu. :D)

Capek ngider, gue memutuskan untuk duduk-duduk saja. Ngapain? Ya bengong, lah. Ngapain lagi coba. Enak tau, bengong dengan pemandangan kayak gini…

Amsterdam Kinderdijk 21
Amsterdam Kinderdijk 16
Amsterdam Kinderdijk 13
Amsterdam Kinderdijk 12
Amsterdam Kinderdijk 11
Amsterdam Kinderdijk 2

Baru sorenya gue bertemu dengan orang yang memakai coat merah. Ibu-ibu yang tampaknya sudah berusia di atas lima puluh tahun lewat bertepatan dengan sunset. Siang yang cerah berganti awan yang menutup matahari, menyisakan langit semi kelabu. Namun, sorenya angin berembus. Matahari dan langit biru kembali terlihat, berdansa bersama awan yang berarak. Hasilya, secercah semburat sunset merah, pohon, jembatan, kincir angin, dan ibu yang mengenakan coat merah, terekam sempurna di lensa.

Amsterdam Kinderdijk 1
Amsterdam Kinderdijk 15
Amsterdam Kinderdijk 8
Rupanya, si Ibu Bercoat Merah melihat gue memotretnya dari kejauhan. Ia melambai. Tanpa ragu, gue mendekat.
“May I see the picture?”
Gue sedikit ragu. I really like the photo. What if she didn’t feel happy and asked me to delete it? But I showed the photos to her anyway. She didn’t say anything for a few minutes.
“if you want, I can send the photo to you. Just give me your email.” Gue berusaha mencairkan suasana yang rasanya agak canggung. Ibu Bercoat Merah mengalihkan mata dari kamera, dan bertemu dengan mata gue.
“Maybe I’ll see this photo again someday, hanging in your exhibition display.”
“Excuse me?” Gue bingung-bingung sedap. Nggak ngerti dia memuji atau berniat mencaci.
Dia tersenyum hangat, mengembalikan kamera gue.
“Do you travel a lot?” tanyanya, tanpa menjelaskan maksud ucapannya tadi.
“Yes, I think so. What about you?”
“Oh, dear. Yes. I couldn’t even remember how many countries I’ve visited.”
“Wow… And… are you traveling alone?”
“Lately, yes. Few years ago, with my husband.”
“Where is he now?”
Seketika itu juga, gue menyesal. Tatapan matanya sudah memberikan jawaban: sang suami telah tiada. Ada satu duka yang terapung di bening matanya. Mata yang dikelilingi kerutan pengalaman. Mata yang memancarkan kehangatan, kecerdasan, dan rasa sepi.
“I’m very sorry. I shouldn’t have asked.”
“No, no, no. Don’t be sorry. Death can be beautiful. My husband is at a much better place now. And I have with me so many beautiful memories of us. So don’t you feel sorry or pity me.”
Gue mengangguk. Kami berjalan beriringan, menuju pintu keluar karena hari sudah mulai gelap. Bulan menggantung di langit yang sudah berubah dari biru pupus ke ungu gelap. Sisa cahaya terakhir matahari di cakrawala tinggal menghitung menit, setelah itu ia akan menyapa belahan bumi lain.
“Why do you travel?” tanyanya pelan.
“Uhm… why…. not?” Jujur aja, gue nggak siap dengan pertanyaan ini.
Dia tergelak sedikit.
“I like your answer. Why traveling? Yes. Why not?”
“The world is too big. Ans I want to see it as much as possible. What about you? Why do you travel?”
“Because every night I want to tell stories to my husband. About my day. My journey.”
Dia mengenakan sarung tangan. Angin mulai berembus kencang. Rasanya, temperatur sudah terjun beberapa derajat. Berbekal dua lapis kaus thermal, penutup telinga, shawl, kaus kaki wol, sarung tangan dan jaket penahan angin, gue tetap hangat. Percakapan kami, dua orang asing yang tak saling tau nama, membuat gue merasa tambah hangat.
“We didn’t travel enough when we were young. We were too busy with work. Raising children. Maybe a month in Italy or France or Switzerland every year. We were saving money to travel together. It went quite well, until he’s gone. I didn’t stop. He wouldn’t want me to stop. And my children are doing well on their own, I have nothing left to do but to see the world. And oh, boy… what a sight.”
“What kind of stories you tell to your husband?”
Seulas senyum menghiasi wajahnya. Kami sudah hampir mencapai pintu keluar. Jalan besar sudah terlihat. Deretan pohon serupa jemari kurus berbonggol yang bergoyang perlahan, mengikuti irama angin malam.
“Maybe tonight I will tell a story about a young Asian man who has good eyes in photography.”
Di antara hembusan angin dingin, gue bisa merasakan pipi gue perlahan memanas.
“Don’t stop roaming the world, you are not made to stay where you are for the rest of your life.” Itu kalimat terakhirnya sebelum kami berpisah. Tak ada jabat tangan. Tak ada acara saling berkenalan. Namun gue yakin, dia akan mengingat gue sebagaimana gue akan selalu mengingatnya sebagai perempuan luar biasa yang memandang dunia dengan cara luar biasa. Kalimat terakhirnya, akan selalu gue ingat. Sampai kapan pun.

Amsterdam Kinderdijk 7


107 responses to “26 Days in Europe: Amsterdam – Kinderdijk; Windmills and Chill”

  1. Finally, bisa baca lagi kisah Eropa yang selalu ditunggu-tunggu (tiap hari satu kisah, hehehe). Melihat foto-foto Kinderdijk yang indah banget bener-bener bikin harus menahan nafas, luar biasa.. Apalagi foto yg ada wanita dg coat merah dan latar langit yang senada warnanya, atau foto kincir angin yg depannya ada sungainya, sampai-sampai ada refleksi samar-samar kincir angin itu di air yg permukaannya yerlihat tenang itu. Seperti biasa, fotonya kartu pos banget :)
    And the way you tell the story, hm..seperti biasa, mengalir, detail, dan menyenangkan, selalu sukses membawa siapapun yg baca ke tempat yang indah banget itu.. Oya, semakin suka dengan postingan ini karena semakin banyak menggambarkan interaksi dengan orang-orang yang ada di sana.. Keep writing ya, please don’t stop ;)

  2. Wow!! Seperti biasa, puas baca kisah-kisah Eropanya, krn bener-bener bisa merasakan hawa dingin yang tergambar lewat deskripsi kalimat dan foto-foto yang keren itu. Entah kapan bisa ke Belanda, tp klo beneran keturutan ke sana, kyknya mesti ke Kinderdijk. Khawatirnya, setelah diposting di blog ini, Kinderdijk jd destinasi wisata yg smkn byk org dtg ke situ, jd semoga aja msh ada byk spot yg bs dipake buat merenung. Btw, kalimat si ibu yg dulu selalu travelling dg suaminya bikin baper deh. Apa ada kalinat romantis selain, “Because every night I want to tell stories to my husband. About my day. My journey.” Hm….

  3. Aaaak fotonya…. aaaakkk ceritanya……
    Foto paling bagus yang pohon, yang potrait. Dramatis. Ceritanya kayak bab 5 novel fiksi seorang traveler. Kayaknya bab 7 dia menemukan seseorang di red light district. Ehe
    Sedep sedep sadis

  4. ASTAGA YA TUHAN dari foto foto aja udah bagus bagus banget. bang harusnya ini saya lagi ngerjain thesis tapi malah ke-distract sama blog nya. yaudah gapapa, alibi nya cari inspirasi deh ya okesip.

    btw, meeting strangers i believe is also one of the magical moment of travelling :)

    nggak sabar menunggu cerita selanjutnya ;)

  5. Koh yang ini kereeeeeen. Mau lagi dong cerita tentang people, gak cuma tempatnya ajaaaa. Loph ya koh hihihi

  6. Seneng adalah ketika bangun dari tidur ada email masuk yg menyatakan bahwa Lexy meng-update blognya! ?

    Thanks for sharing, Lexy!

    I’m sure your positive vibe will bring a good effect to everyone today.

    Stay awesome! ?

    PS: I’m waiting for your horror story and don’t forget to tell us the story about that Chinese snowman! It’s your patjar doing right? ?

  7. Perpaduan foto sama ceritanya pas banget, ini foto2 berasa punya magic deh. Beneran bikin ngerasa kayak di sana, dan juga bikin gue tersentuh dan ikut bengong. Dan masa ya gue terharu pas si kokoh dipuji “good eyes in photography” (padahal yg dipuji juga siapa…..) tapi omongan adalah doa koh, ya semoga berawal dari omongan bisa jadi kenyataan kalo suatu hari nanti kokoh punya pameran foto sendiri. :D
    Buat gue ngena sekali koh kalimat terakhir si Ibu Bercoat Merah. Jadi pengen jalan2 saat ini juga…

    Kisah & foto2 kali ini keren koh, suka banget! Habis bangun tidur baca update-an blognya, bikin semangat memulai hari. Ditunggu cerita2 selanjutnya, koh!

  8. suka postingan yang ini, koh! saking sukanya sampe nda mau jadi silent reader lagi :D

    cerita dan fotofotonya, keren.. and yes, you’re really have a good eyes.. semoga suatu saat nanti akan ada pameran foto nya, koh.. dan klo bisa dijadiin postcard, trus cerita tripnya dijadiin buku *rikwes* :)

    dinantikan postinganpostingan selanjutnya, koh!

  9. Foto-foto dan tulisannya.. Berasa ada di sana, dan ada sesuatu yg mistic yet beatiful about this post. They were right, you’re, have good eyes in photography, and in the way you see everything around you. ??

  10. ya ampun foto-fotonya keren bingit… Ibu bercoat merah dan turis Tiongkok itu bener koh, you have good eyes in photography. Akkkkk ceritanya bikin orang pengen langsung packing dan jalan ke TKP nya…. keren banget

  11. please jangan berhenti bercerita ko, cerita yang selalu bisa buat senyum, tahan nafas, sampe sedih… hahhaaa… PR aku pengen ketemu kamu ko… hahahaha

  12. Wew, you really have good eyes, Koh! Hasil foto nya bikin somehow tiba – tiba bayangin pemandangan itu ada di depan mata deh, berasa ada angin sekaligus hangat :)

    kalo ke Belanda suatu hari nanti, tempat ini bisa banget masuk wish list!

  13. Not only have a good eyes and you’re also a good story teler… Thank you for posting this inspiring story of yours, Koh… Mbacanya bikin mewek :’)

  14. Not only have a good eyes, but you’re also a good storyteller… Thank you for posting this inspiring story of yours, Koh… Mbacanya bikin mewek :’

  15. aku kok mewek yaa bacanya :( semoga koko tahun ini banyak jalan-jalan lagi biar sering posting blog. hahahaha

  16. Wow,pencerita handal fotografer handal juga. Pasti seneng ya orang yg bisa kenal koko lexy. Kemarin kemarin belum baca,ini lagi marathon bacanya. Nano nano banget cerita dan fotonya. Yg awal awal bikin ketawa yg ini bikin hati hangat sampe mewek. Terima kasih ko lexy

  17. Beautiful story and pictures :’)
    I don’t know if you remember me or not but we once met on a trip to Derawan in 2014, and I’ll always remember your obsession with the horizon line. It appears in those pictures. :)

  18. Tiba2 nangis…pas di cerita si kokoh nanya mana suami ibu bercoat merah……pilihan katamu koh bisa membuat gue merasakan sepinya ibu itu sejak ditinggal sang suami….kokoh ih…..#nangis maning

  19. Baca cerita dan hasil foto” yang luar biasa,dan ikut bengong “Enak tau,bengong dengan lihat hasil jepret Mr Good Eyes”

  20. Koh Lex, gw gak jalan sejauh lo. gak perlu passport atau visa . tapi mungkin cara kita menikmati perjalanan hampir sama. suka random ngejogrok bengong di tempat yang kita suka. menikmati hilir mudik manusia dan menjadi observer aktifitas mereka.
    sayangnya, gw gak punya sense motret ciamik macam lo. gak bisa dengan mudah ngajak ngobrol stranger karena gw ngerasa termasuk manusia pasif yang kudu orang lain dulu mulai nyapa biar bisa ngobrol.
    tapi ketika akhirnya bertukar cerita dengan orang lain, mendengar sudut pandang orang lain tentang hidup, itu kayaknya yang ngebuat perjalanan berharga. for me, scenery is just beautiful bonus. for me, journey is about story. for me, journey is about to find a piece of puzzle in part of my life. for me, journey is find myself in another places.

    pas bagian ketemu ibu bercoat merah, ngerasa kayak, itu esensi Kinderdijk buatmu koh. dan bayangkan berapa tempat kau sudah kau singgahi. berapa orang yang sudah bertukar sapa dan cerita.

    Koh, jalan-jalan lah..jangan berhenti..mungkin siapa tahu kita ketemu tanpa saling tahu di bandara, terminal, stasiun atau dimana saja tanpa kita bisa kira.

    terima kasih ceritanya.

    oh iya, jangan berhenti nulis juga. :)

    • Hi, Yuda.

      Sejujurnya, gue manusia introvert yang sering gamang ketika harus membuka percakapan. Tapi, percaya, deh. Ngobrol sama stranger itu addictive. Keep walking!

      • Dear Koh Lexy,

        iya, setelah bertahun2 buat ngumpulin mental buat ngajak ngobrol stranger akhirnya dikit-dikit berani dan menikmati. hahahaha..
        padahal dulu gw sampe SMP aja masih takut bilang “kiri bang” di angkot biar gw bisa turun di tempat tujuan gw dan ngalah buat nunggu ada orang yang turun di deket tempat tujuan gw atau si abang kondektur nanyain mau turun mana dan gw baru berani bilang. gw gitu karena gw ngerasa bilang “kiri bang” itu adalah ngrepotin orang. hahahahaha..
        dan kenapa gw bisa mulai berani? karena suatu hari di tahun awal millenium, gw nekat buat backpackingan keliling separuh Jawa sama 1 orang temen gw yang sama penakutnya kayak gw selama seminggu..hahahahaha..
        dan di perjalanan2 selanjutnya baru akhirnya nemu serunya dapet cerita dari orang asing..

        aaaahh..waktu itu.. *ngelamun di kantor*

        ups..sorry..malah jadi gw yang cerita disini..hahahaha…

        thank again Koh Lex..oh iya, dan pertanyaan dibales sama pertanyaan lain itu…seketika inget si Etra di Petir Supernova’nya teh Dewi Lestari…jangan-jangan Koh lexy itu..peretas….hhhmmmm…xixixixixixxixixixi

  21. Foto-fotonya cakep banget.
    Pernah ke tempat yang sama sebelumnya, tp foto2 yg diambil beda banget sama yang ini. Good eyes indeed.

  22. Aku masa terharu bacanya koh :’) semoga koh lexy sehat terus jalan jalan terus nulis terus foto yg bagus terus amiinn

  23. merinding..

    terusin ya koh karena lo adalah salah satu alasan kenapa gue harus kerja lebih keras lagi :)

    thanks koh

  24. Akkhhhh,,,
    i always love your Story kohh,,
    berasa baca novel, iri banget sama koko yang di karuniai bakat cerita yg luar biasaaaa,,
    jgn berhenti ya ko,, ini salah satu alasan knpa gue juga suka traveling, meskipun masih sekitaran indo dulu,,
    semoga someday bisa ke europ juga yawla,,
    aminnn :))

  25. Ini gimana ceritanya baca sambil mewek….

    Dear Alex,

    LOE BANGKEEEEE,
    Pencerita yang jenius, dan gue harus setuju sama cowok China London plus Ibu-ibu Luar Biasa itu kalau lo emang si “good eyes”, Foto rumput gersang, celah yang becek dan cowok lewat naik sepeda aja kenapa jadi keren gitu. Setiap foto selalu bercerita, dan gw yakin banget tanpa loe nulis panjang lebar disini, dengan cuma majangin foto hasil jepretan lo aja, semua orang bisa melihat cerita lo (eh tapi jangan dicoba deng).

    Inspiratif, pokoknya bawa kami jalan jalan lagi dengan cerita cerita yang luar biasa ya….

    Sukses.

  26. Ceritanya koh Alex pasti bikin brebes mili gitu ih :’) ini lagi nabung sama kerja keras biar bisa travelling kaya koh Alek. Dan siapa tau ntar bisa travelling bareng. Amin.

  27. baru sehari ini aku baca dari awal yang #26DaysinEurope mu, Ko. ehehehe (/_\) tapi langsung subscribe, kok. beneran deh :p ternyata cerita-ceritanya bikin ketagihan, pantas deh di timeline suka banyak yang nagih…
    senang sekali bacanya disertai foto yang cakep pula (bikin tambah pengen) di setiap postinganmu, ko apalagi yang postingan ini. entah kenapa foto di akhir postingan kayak bikin hati lebih adem lagi setelah dibikin adem sama ceritamu, koko Lexy.. . beruntungnya bertemu teman sesama pejalan yang mempunyai cerita yang bikin inspirasi banyak orang kaya ibu bercoat merah. :)

  28. I met Alex tahun lalu pas di Starbucks Plaza Indonesia minta Tanda Tangan di dua buku nya. Baik, lembut, dan ramah, tiada tanda2 nyinyir atau galak yg kadang tercermin di Twitter.
    Alex, if only I could marry a mind, I’d be marrying yours. Love the way you see things, take pics, and tell stories.

  29. Koh, coba foto2nya dibikin buku, jadi photo journal. Pasti akan laku keras seperti Somewhere Only We Know. Bahkan orang asing yang baru liat satu dua jepretan kokoh aja believe in you, apalagi kami! :D

    Can’t wait for your another heart warming’ stories.

  30. Kinderdijk, mirip nama camilan ya :D jadi tau nanti kalo ke Belanda berarti harus ke sini, bagus banget tempatnya, ngebayangin bisa duduk di kursi kayu itu sambil makan bekal :)

    Saya selalu parno kalau diajak ngobrol sama orang asing yang ketemu di jalan, tapi kalau baca cerita koko ketemu orang asing di jalan, terus ngobrol, ternyata selalu ada cerita menarik ya.

    Jawaban yang sangat cool, why not? Iya juga sih ya, kenapa enggak kalau ada kesempatan dan tentu budgetnya :D

  31. alhamdulillah sukses berkaca-kaca ngebaca postingan ini :’) postingan yang paling disuka sejauh ini :)))

  32. it’s soooo heartwarming :’)) to read this. mudah2an banyak rezeki ya koh biar jalan2nya lanjut teroosss :D, biar bisa nulis cerita2 unik2nya (jangan sampe kelupaan nulisnya…) AMIEEEEENNNN

  33. Yes yang aku tunggu cerita tentang orang orang yang koh alex temuin pas traveling aku tunggu lagi yhea a young Asian man who has good eyes in photography :))

  34. Penutup yg luar biasa.. walaupun di twittnya kdg2 lumayan “gila”, tpi saat mbaca tulisan prjalanan ini sprti melihat sisi lain lgi.. saatnya mulai berburu bukunya..

  35. Why travel? Why not? i loveeee this sentences…

    selalu suka tulisan Alex tentang percakapam dengan orang asing. pengen banget gak sengaja ketemu Alex yang lagi bengong menikmati pemandangan trus minta fotoin juga :’)

    good job!
    keep writing! :D

  36. Jeng lexyyyy…..
    Setiap tulisan yang kamu tulis, entah di buku, blog, cuitan di twitter, caption di IG atau ngiklan pun tetep bikin jatuh cinta.
    Aku ga bakat muji-muji berlebihan koh…
    But yeah…
    Harus banyak orang-orang kayak kamu koh yang ga hanya traveling-pamer photo-selfie-yaudah gitu aja, tanpa ada jejak cerita yang bisa orang-orang nikmati lebih dari sekedar photo. Semua orang mungkin akan bisa belajar ngambil photo bagus tapi gak semua orang bisa buat photo itu bernyawa, Seperti yang kokoh lakuin disetiap photo yang di share.

    Keep sharing ya koh…
    I’ll be waiting for “PAMERAN PHOTO LEXY”
    *cium*

  37. Udah update ternyata setelah ditagih lewat twitter ?? omg ko Alex makasih banyak kita udah diajak jalan-jalan ke Kinderdijk semua yang kamu tulis di sini buat kita juga merasa ada di sana juga aaakkk keren. What a chinese girl said to you is absolutely true!! You have good eyes and you are great story teller. Tapi cerita ibu yang pakai coat merah bikin baper ? langsung brebes pas bacanya. Aku suka semua tulisanmu, sama koko juga *hlah* ??? jangan berhenti menulis ko ❤ semoga selalu diberi kesehatan, rejeki, banyak sponsor yang ngajakin jalan-jalan ke luar negeri??

    Oh iya soal slow traveller aku juga sama kaya koko, klo pergi ke suatu tempat pasti bengong ngliatin pemandangan dan orang-orang yang lewat di daerah itu. Entah kenapa tapi lebih suka kaya gitu daripada dikit-dikit selfie terus pindah ke tempat berikutnya ? btw aku lebih suka komen di sini daripada di twitter soalnya bisa kasih komen yang banyak hahaha ? terus aku pengen ketemu koko lagi ? pengen minta tanda tangan sama foto bareng lagi, ntar klo ke Solo lagi janji deh ga pake heels ✌?

  38. “Don’t stop roaming the world, you are not made to stay where you are for the rest of your life.”

    merinding baca kalimat yang itu, jadi pengen menikmati masa muda juga gue. oh iya lex, menurut beberapa orang foto foto lo bagus emang benar sih gue juga suka, tapi menurut gue tulisan lo yang begini jauh lebih bagus. gue penganggum tulisan lo. dan terima kasih sudah membagi cerita. terus berkarya lexy :)

    dari following mu :D

  39. Hai ko, aku lagi. Sombongnyaa dibilang kamu punya good eye lah, bakal jadi great photograper lah blabla. Tp koko beneran emank story teller yg great. Cara penyampaian kaki kena jeprot di lumpur 20menitan aja bisa diceritain dgn lugas. Kan zebel.
    Eh anw aku baca twitter mu yg pacaran sm Logan lerman.. Kan tambah zebel. Krn gatau siapa wanita yg beruntung mendampingi keliling 26 hari in Eropa

    :)

  40. selalu menginspirasi tulisannya koh, mampirlah ke blogku kalo lagi lowong, you’re my inspiration dalam dunia tulis menulis, travelling,fotografi, daebak lah kalo kata orang korea ?

  41. Yes, you have good eyes koh. Foto2nya keren. Cerita bikin pipi basah. Kinderdijk masuk buckelist gw pastinya. Ditunggu cerita selanjutnya. Thanks.

  42. Woohh.. ternyata bukan cuma aku yang suka duduk doang di tempat baru terus ngeliatin apa yang ada di depan mata. Yes. DUDUK DOANG, kalo kata orang. But i love to do that dan aku merasa seperti punya teman sekarang :’)

    Terima kasih sudah jadi “perantara” buat aku yang belum bisa jalan-jalan jauh. Jangan bosen buat berbagi cerita ya, koh. Semoga sehat selalu!

  43. Ya ampun dr badmood jadi goodmood baca tulisan si kokoh ganteng ini.. Akkk baperrr pngen travelinggg

  44. Salam kenal koh Alex (ikut -ikutaan manggilnya)

    Bener kata si turis cina sama ibu ber coat merah, fotonya keren – keren.
    Dan ceritanya juga bagus amat.

    Jadi malu kalo liat blog sendiri TT

  45. atulah fotonya!!!! kayak di negeri dongeng.. emang yang buat ketagihan traveling selain pemandangan ya manusianya. mungkin pejalan itu sejenis pemulung cerita trus dioleh dan dibingkai. :D

  46. Dari jaman MP sampe sekarang tulisanmu mmg enak dibaca Lex, sekarang ketambahan foto2 yang enak dilihat. You do have good eyes.. photographer kayaknya bisa dijadiin profesi baru tuh. Aku udah subscribe, hehehe supaya gak ketinggalan tulisan berikutnya, ditunggu ya kelanjutannya.

    Sebelumnya udah komen sih, tp gak keluar, mudah2an gak dobel hehehe

  47. Foto-fotonya KEREN! Emang deh traveling akan membuat kita melihat hal yang belum pernah kita lihat, dan mendengarkan cerita yang asing sebelumnya. Banyak hal yang menghangatkan hati di postingan ini :)

  48. itu dudukduduk mengamati sekitar emang asik banget, apalagi di pantai. That’s why i love the art of doing nothing.

  49. Great pic, great story.. bagian percakapan dengan ibu ber-coat merah bikin terharu.. “Maybe tonight I will tell a story about a young Asian man who has good eyes in photography.”

  50. koh..actually gue lebih suka baca blog lo daripada novel lo (ohh..sama twitter dan instagram juga :D ), ga tau alesannya apa tapi ya itulah..gue lebih suka baca blog lo..jadi..tetep nulis di blog yaa..err..mungkin ntar kalo lo ngeluarin novel yang ada gambar2nya gue juga akan baca juga..hahahha..anyway..keep writing koh! (and keep take of many pictures)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *