“Emang berapa lama sih, nyampe Anambasnya?”
“Dari Tanjungpinang/Bintan, kita naik kapal cepat sepuluh jam…”
“Hah? Sepuluh jam? Itu mah terbang dari Jakarta ke Turki…”
“Abis itu 6 jam lagi untuk beneran nyampe Anambas…”
“Jadi totalnya 16 jam?! Jakarta – Paris banget, khak?!”
Ya, begitulah ilustrasi ‘penderitaan’ lemahnya infrastuktur di Indonesia tercinta ini. Traveling di negara sendiri, butuh 16 jam, belum termasuk terbang dari Jakarta ke Tanjungpinang. Sebenarnya ada sih, pesawat dari bandara Tanjungpinang ke Matak di Anambas. Namun karena satu dan lain hal (intinya bandara ini sudah tak beroperasi karena bla bla bla gue lupa), sekarang udah nggak ada. Mudah-mudahan cuma sementara, ya…
Begitu tahu gue harus menghabiskan 10 jam di kapal, pelbagai siasatpun gue canangkan. Mulai dari stok snack yang bejibun, musik di hape yang sudah diisi dan di-update, sampai bawa novel (yang akhirnya kebaca dikit doang), dan di kapal… ujung-ujungnya gue mati gaya. Mau internetan? Ya menurut ngana, di tengah laut ada sinyal internet gitu? Mau SMS pacar? Congratulations, gak ada sinyal juga (bukan gak punya pacar, ye. CATET!) Untungnya, gue dapat teman-teman baru, plus, jalan bareng seorang teman yang udah terkenal bochornya, si Prue, jadi sepanjang jalan kami tertawa-tawa. Mulai menertawakan hal receh, ngejoke nggak kelar-kelar, sampai akhirnya ketiduran karena capek dan udah mati gaya.
Setibanya kami di Turki… eh, maksud gue, Letung, kami terseok-seok turun dari kapal cepat yang ternyata gak cepet-cepet amat, dan pindah kapal ke Anambas. Tampang gue gimana? Baju lo yang gak dicuci sebulan kalah lecek pokokmen.
Flashback dikit, sebelum ke Anambas, gue keliling-keliling dulu di Tanjungpinang. Maen ke Pulau Penyengat dan liat Masjid Raya Sultan Riau yang dindingnya direkat dengan putih telur, makan gong gong — sejenis siput khas Kepri yang rasanya lebih enak dari escargot (ehem, rang Prancis, kelen tak mau impor gong gong apa, ya?), keliling kota tak naik kereta kuda dan tak ada bunyi tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk suara sepatu kuda #yousingyoulose
This is gong gong and it tastes much better than escargot. Hi, France. Want to import this? ? #pegipegitrip pic.twitter.com/YnY60UwPBy
— Alexander Thian (@aMrazing) March 22, 2016
Jujur aja, selama 16 jam perjalanan gue sering bertanya-tanya dalam hati: worth it nggak sih naik kapal 16 jam demi Anambas? Emang secakep apa sih, Pulau Bawah yang didaulat sebagai Best Asia’s Tropical Island itu? Kenapa gue gak sekalian ke Eropa aja, ya? Pan sama aja lamanya? Kenapa juga ya, gue request ke PEGIPEGI untuk ke sini? Wait… apa itu pegipegi? Hubungannya sama Lexy apaan? Jadi gini… gue ini semacam ambassadornya pegipegi. Mereka tuh menyediakan tiket pesawat, tiket kereta, hotel se Indonesia, sampai banyak travel tips, dan semuanya dijamin mureh dan gampang. Sebagai ambassadornya, tolong kalian ke pegipegi.com untuk pesan ini itu, ya. Hyuk. Nah, untuk trip ke Anambas, pegipegi colek-colek Om TJ yang emang sering ngadain open trip ke se Indonesia. Silakan cek website mereka dan silakan pilih mau pergi ke mana. Kebeneran pegipegi dan tukang jalan jadwalnya pas, jadilah semua berkolaborasi.
So anyway, pertanyaan gue terjawab ketika 16 jam perjalanan berakhir. Kami tiba menjelang sunset, dan rencana malam itu, adalah tidur di kapal, atau di pantai. Tidur dengan menatap langit penuh bintang sementara mendengarkan suara ombak yang lembut dan merasakan angin sepoi-sepoi membelai wajah? I am so game for this.
Gue udah siap dengan peralatan tempur: tripod dan kamera dan beberapa baterai cadangan. EH TERNYATA SAAT ITU LAGI FULL MOON. Hhh.. gagal deh motret milkyway. But it’s okay. The sunset was gorgeous and the night was blissful and the sunrise was mind blowing! Coba tebak, foto di atas, mana yang sunset dan mana yang sunrise? :))
Kegagalan memotret milkyway tergantikan dengan sesuatu yang di luar dugaan. Ketika berjalan di pinggir pantai pukul sebelas malam, mata gue menangkap sesuatu yang berkilau biru ketika riak air yang pelan menyapa kaki. Gue memicingkan mata, berdebar, berharap yang gue lihat adalah yang gue pikirkan. Dan ternyata benar. Bioluminescent plankton di anambas! OMG. Gue segera memanggil anak-anak yang ikut kemping ala-ala di pantai. Mereka sama tercengangnya. Untuk beberapa saat, kami memperhatikan kerlip biru dari plankton-plankton ajaib ini. Jumlahnya memang sedikit, sangat sedikit. Apalagi jika dibandingkan dengan adegan di film Life of Pi. Namun, gue cukup terhibur. Ini adalah kali kedua gue melihat plankton yang berkelip-kelip genit di pantai. Kali pertama, di Weh. Waktu itu gue nggak berhasil foto karena belum paham prinsip dan tehnik long exposure.
Jantung gue deg-degan ketika kapal meluncur ke Pulau Bawah. Pagi itu agak mendung, matahari tak begitu cerah, dan pemandangan Pulau Bawah… kok biasa aja? Aduh. I spent 16 freaking hours for dis?! Setengah kecewa, gue berharap CNN punya alasan kuat yang gue belum tau. Kami menunggu di kapal sementara beberapa orang minta izin untuk main ke pulau. Kabar yang kami terima setelah itu membuat jantung mencelos: gak boleh turun, gak boleh ada di sekitar Pulau Bawah. Fak. Alasannya: Pulau Bawah sedang dibangun, dan sekarang pulau ini kepunyaan konsorsium Inggris-Singapura-Australia dan mereka sedang bikin resort mahal. Aduh…
Untunglah, kami sekapal dengan rombongan dokter yang sedang internship. Berbekal rayuan sakti “kami dokter di Tarempa dan ini adalah teman-teman dari Jakarta yang sedang berkunjung plis dong ah mas ganteng kami cuma sebentar dijamin eke gak akan motret kondisi pulau yang lagi dibangun suwerrrr” tanpa perlu buka celana lalu uget-uget sepanjang kapal, kami diizinkan turun.
Kemudian matahari menampakkan diri. Lalu gue pun mengerti, kenapa tempat ini disebut Asia’s Best Tropical Island.
Aerial photo from Ichsan, taken with gopro, no editing applied. :))
‘Apakah perjalanan 16 jam worth it?’



Begitulah. Anambas memang parah cakepnya. Namun di perjalanan kali ini, gue mendapatkan satu cerita sedih. Daripada gue ketik ulang, kalian langsung baca aja, ya, karena sudah pernah gue ceritakan di Twitter. This upsets me, a lot.
And you know what? Gue ngetrip bareng dokter yang sedang residensi (?) satu tahun di sini. Mereka punya cerita sedih. #pegipegitrip
— Alexander Thian (@aMrazing) March 26, 2016
Di Kepri, total ada 50-an dokter. Nah, penugasan 1tahun ini mesti selesai, kalau nggak, gak akan bisa praktek. (kalau gue gak salah denger)
— Alexander Thian (@aMrazing) March 26, 2016
Tetapi, gaji yang kecil ini masih ada kompensasi dari pemerintah daerah. Nah, di sinilah masalah muncul.
— Alexander Thian (@aMrazing) March 26, 2016
Dan jawaban yang bikin kesal adalah, "kalian kan masih sama orang tua. Minta sama mereka aja…" Can you imagine in their position?
— Alexander Thian (@aMrazing) March 26, 2016
Dan gue baru tau, di Kepri biaya hidupnya tinggi. Kemarin nanya, di Tarempa bensin seliter harganya 16ribu.
— Alexander Thian (@aMrazing) March 26, 2016
Gue nanya: apa mereka bisa hidup dari gaji kecil itu? Mereka menggeleng. Lalu, nombok dari mana?
Dari tabungan pribadi, jawab mereka.
— Alexander Thian (@aMrazing) March 26, 2016
Sekali naik feri dari tarempa ke tj pinang: 450K. Pp = 900k. Belum makan dll.
— Alexander Thian (@aMrazing) March 26, 2016
Para dokter muda ini datang dari berbagai daerah. Jakarta, Jogja, Solo, dll. Semua wajib internship, meninggalkan enaknya hidup di kota.
— Alexander Thian (@aMrazing) March 26, 2016
Mereka nekat cabut, surat ijin praktik nggak akan keluar. Mereka bertahan, makan hati karena hak mereka nggak kunjung tiba.
— Alexander Thian (@aMrazing) March 26, 2016
Kalau mereka harus merujuk pasien, maka mereka keluar uang lagi untuk transpor si pasien ke rs lain. Dari mana uangnya? Kantung pribadi.
— Alexander Thian (@aMrazing) March 26, 2016
Jadi ya tiap bulan para dokter muda ini nombok terus menerus. Mereka udah hopeless dan lelah menagih upah atas jasa mereka ke pemda.
— Alexander Thian (@aMrazing) March 26, 2016
So, that’s their sad stories. Mereka kayak berada dalam lingkaran sebab akibat tak kunjung habis, dan hanya berakhir ketika masa residensi berakhir. Dengan kondisi Anambas yang susah internet kecuali di Tarempa, gak ada hiburan kecuali mereka terbang ke Batam atau Singapur, semuanya serba susah. Untungnya (teteup, ye, Indonesia apa-apa harus ada ‘untungnya’), mereka dikaruniai dengan alam yang luar biasa cakep di Anambas. Kekurangan koneksi internet dibayar dengan pemandangan yang mind-blowing. Tetap saja, gue dan tentunya mereka, berharap pemerintah punya solusi atas permasalahan mereka. Udah capek kerja, nggak dibayar, dan dikatain anak orang kaya nggak perlu duit itu sakit banget, sih.
At the end of the trip, gue berteman dengan mereka semua. It’s awesome how a trip can connect you with good people.
Sekian laporan dari Anambas yang sudah tertunda beberapa bulan. Pada maen gih, ke sini. Pasti kalian akan mendapatkan banyak sekali cerita. Terima kasih banyak untuk Pegipegi, hotelnya bagus! dan thanks a bunch, Mr.TJ!. Sampai bertemu di postingan lain. Komen jangan lupa. (soale aku sedi banyak yang baca, banyak yang komen, tapi komennya di … twitter =))) )