Ketika membersihkan laptop dari file-file tak terpakai dari zaman dinosaurus punya dua tangan yang berguna, gue tertegun melihat satu tulisan. Lantas, secercah kenangan menyeruak ke permukaan dari tempat istirahatnya yang nyaman, di sudut hangat sel abu-abu gue. Rasanya hangat sekali kembali membaca cerita lama. Cerita ini pernah dimuat di majalah NatGeo Traveler. Bahkan salah satu fotonya menjadi foto cover majalah itu.
So, here’s the article. Selamat membaca and let me know what you think!
Australia memang penuh dengan kejutan. Bukan hanya alamnya, saya juga bertemu dengan manusia-manusia dengan cerita-cerita mereka yang tak kalah anehnya. Seperti siang itu. Saya baru saja selesai hiking di Porongurup National Park di Albany, Western Australia. This saying is true: kalo nggak mau capek, ya nggak akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalo gak mau usaha, ya gak akan sukses selamanya.
Saya bersyukur sekali pagi itu mengambil keputusan yang tepat dengan mengikuti hiking di Castle Rock Granite Walk. Trekking dan hiking di jalur berbatu yang terus menerus menanjak sepanjang lebih dari dua kilometer terbayar tuntas ketika saya tiba di puncak. Pengunungan granit yang menjulang tinggi dengan pemandangan hutan di bawahnya membuat saya berhenti bernapas sejenak. Rasanya sangat aneh sekaligus mengagumkan betapa bebatuan raksasa yang sudah ada sejak zaman dulu, berpadu dengan hutan yang sebagian tinggal ranting, sebagian lagi dipenuhi daun-daun yang rimbun.
Dari Porongurup National Park, kami – saya dan rekan-rekan media lain- beranjak ke sebuah wine festival di Albany yang hanya berjarak 10 menit perjalanan. Begitu tiba, perhatian saya langsung tersita pada satu panggung yang dipenuhi baskom-baskom besar dari kayu. Beberapa orang tampak menuangkan buah anggur berwarna ungu gelap. Di belakang mereka, tampak banyak kontestan yang sebagian besar remaja perempuan berpakaian warna warni bercengkerama di bawah pohon. Wah, akan ada perlombaan menginjak anggur, nih. Karena saya belum pernah menyaksikan acara menginjak-injak anggur kecuali di film, atraksi ini pasti tak akan saya lewatkan.
Ketika semua buah anggur sudah selesai dituang ke baskom-baskom, saya kembali berkonsentrasi memamah biak cheesecake buatan farmer lokal di bawah pohon raksasa yang teduh. Sepertinya, pohon yang tingginya lebih dari lima puluh meter ini masih saudara dari pohon raksasa Red Tingle yang membuat saya terbelalak ketika mengikuti Tree Top Walk di Denmark, sehari sebelumnya. Mendadak, saya mendengar cericit seorang anak kecil.
“BUT THIS IS MINE!”
Otomatis, saya menoleh. Seorang anak laki-laki yang wajahnya super lucu tengah cemberut. Di tangannya ada semacam pizza seafood. Di depannya, duduk seorang laki-laki tinggi besar berwajah ramah, mengenakan celana pendek, topi dengan kacamata hitam menumpang di atasnya.
Untuk sejenak, konsentrasi saya teralihkan. Cheesecake di tangan saya tak begitu menarik lagi.
“Yes, this is yours. But you can’t eat it all.”
“Yes, I can!”
“No, you cannot.”
“YES, I CAN!”
Si Lelaki Tinggi Besar tertawa sambil mengacak rambut si anak kecil.
“Okay. You can. Now finish it.”
“It’s hot. Daddy should buy his own food. Stop looking at mine!”
Tawa si Lelaki Tinggi Besar makin membahana. Beberapa pengunjung di lapangan besar yang dijadikan tempat wine festival itu menoleh dan ikut nyengir bahkan tersenyum melihat tingkah si anak itu.
“You are still looking at my food!!”
“OKAYYYYY!! I will pretend you’re not here and will pretend you don’t have food in your hand. How’s that?”
“Sounds okay.”
“Okay.”
Lalu, si anak kecil makan pizza seafoodnya dengan lahap. Si Lelaki Tinggi Besar mati gaya, dan memutuskan mengalihkan perhatian ke hapenya. Saya nyengir, dan kembali merem-melek makan cheesecake. Tak lama kemudian, rupanya si Lelaki Tinggi Besar merasa bosan. Dia melayangkan pandangannya ke sekitarnya, dan mata kami bertemu. Dengan segera, ia membuka percakapan.
“You’re from around, mate?”
Saya menggeleng. “Nah.. I’m just visiting. Quite a festival, eh?”
“Yeah, it is. It’s getting bigger each year!”
“So will your son.”
“Oh, yeah. That, and his big head.”
“My head is not big, daddy! Don’t tell lie to stranger!”
Rupanya si anak kecil mendengar percakapan kami dan berhenti makan pizzanya. Papanya tertawa kecil.
“I’m sorry to ask this … but … where’s his mother?”
Saya tau saya telah nggak sopan menanyakan hal semacam itu. Namun di sekitar saya, hampir semua orang datang bersama keluarganya. Anak-anak kecil digandeng papa dan mamanya, anak-anak remaja terkadang menghampiri kedua orang tua mereka dan berbagi smoothies, sedangkan, Lelaki Tinggi Besar ini hanya bersama anaknya.
Lelaki Tinggi Besar mendekat, lalu duduk di kursi di samping saya.
“His mother?”
“It’s okay if you don’t wish to answer… I … I didn’t mean to be rude.”
“No problem, mate. I could use some company since he is concentrating on his food, and wouldn’t want me to be near him. Hahaha!”
“He’s too cute.”
“Indeed. So… his mother … left us.”
“I’m sorry.”
“Don’t be.”
“Okay, so what happened?”
“You know. Like the quote from a movie, life happened, shit happened. She cheated on me.”
Saya nggak tau harus berkomentar apa. Namun, raut wajah Lelaki Tinggi Besar ini biasa saja, tak ada ekspresi marah, atau murka.
“So, I have a best friend. We were inseparable. Hell, when I was marrying my ex-wife, he was the best man! Hahaha!”
“Really? And?”
“And after this tough guy was born, I had to work overseas. That’s when she cheated on me.”
Hening yang canggung buat saya menghampiri mendengar cerita Lelaki Tinggi Besar ini. Saya jadi berpikir, apakah rata-rata orang Australia extrovert?
“Is it okay for you to tell me this story?”
“Well, yeah… why not? I don’t see a problem.”
“O … kay. And then, what happened?”
“You know, I found out. She was ashamed of herself, and she decided to runaway with my best friend.”
“Ouch.”
“Yeah, that’s exactly how I felt back then. Ouch.”
Lelaki Tinggi Besar ini masih saja cengar cengir. Dia mengisahkan cerita sedih penuh drama seperti memberitahukan hasil pertandingan sepakbola atau menjawab pertanyaan tentang cuaca.
“So, she left me and my son. And you know what? They got an accident. Both of them, found dead.”
Saya bengong sebengong-bengongnya. Si Lelaki Tinggi Besar kembali bertutur dengan suara yang ringan, seolah yang dia ceritakan tak penting sama sekali. Dia bilang, mobil sahabatnya kehilangan kendali, lalu menabrak sebuah truk dengan kecepatan tinggi.
“Dadddyyyy! I am full!”
Lelaki Tinggi Besar menoleh dan berseru senang.
“What did I say?! You couldn’t finish it! Booooo!”
“I’m sleepy, daddy..”
“Okay. Here….”
Saya masih termangu di tempat. Cerita si Lelaki Tinggi Besar itu seperti sebuah vortex yang membuka dan mengisap seluruh kebahagiaan saya siang itu, membuat saya bertanya-tanya, bagaimana mungkin dia bisa menceritakan sebuah tragedi sebesar itu dengan ringan?
Tak lama kemudian, dengan anak kecil di pelukannya, si Lelaki Tinggi Besar menepuk bahu saya.
“Don’t think too much, mate. I’ll be okay in case you’re wondering. I’ve got this big guy.”
“Yeah … I know you will …”
“It’s called the art of letting go. And the fact that no one can change the past, so I just have to move on.”
Dia lalu melambaikan tangannya, dan beranjak dari situ, meninggalkan saya yang masih terpekur memikirkan ucapannya. Sesaat kemudian, terdengar jeritan-jeritan bernada riang. Perlombaan menginjak anggur telah dimulai.
Saya bergegas menuju tengah lapangan, dengan kepala yang masih penuh dan berputar karena cerita lelaki tadi. Manusia dengan segala ceritanya, terkadang jauh lebih menarik dari destinasi itu sendiri.
Catatan: Foto-foto di atas diambil menggunakan iPhone 5, gue belum bisa motret dengan baik dan benar, masih nggak ngerti komposisi dan kawan-kawannya. Foto-foto di bawah, menggunakan kamera digital ala-ala, nggak diedit juga.
Now, I need your help: Menurut kalian, lebih baik menggunakan kata ‘saya’, atau ‘gue’? Yang lebih enak dibaca, yang mana? Let me know!