Traveling selalu memunculkan berbagai cerita yang menarik. Setiap manusia pada dasarnya adalah pejalan. We are all travelers. Walau ketakutan saat memulai berjalan selalu ada, tapi begitu sudah menemukan enaknya traveling, we just can’t stop. Begitu juga dengan traveling sendirian. Traveling alone is somehow scary for few people.

You go to a strange land. A place you have never been before. And you’re all alone. Isn’t it scary?

Pikiran-pikiran dan berbagai kekhawatiran ini lah yang membuat banyak orang yang enggan jalan-jalan sendirian. Padahal, bepergian sendirian itu bisa sangat seru. Sebagian perempuan yang gue kenal, malas traveling sendiri karena faktor keamanan. Ada banyak juga yang bilang, “nanti yang fotoin, siapa?” Haha.

Buat gue sendiri, traveling sendiri itu amat menyenangkan. Gue tak perlu menunggu orang lain, tak perlu berkompromi mengenai jadwal akan ke mana dan jam berapa. Even when I am traveling alone, I know that I wouldn’t be completely alone, or lonely. Selalu ada stranger yang ramah yang bisa ditanya-tanya, penduduk lokal yang akan dengan senang hati memberikan petunjuk, dan yang paling menyenangkan; teman-teman baru sesama traveler.

Seperti siang itu.

Gue sedang berjalan sendiri tanpa arah di pusat kota Reykjavik. Awalnya, gue ingin ke Museum Penis – atau Phallalogical Museum – satu-satunya museum penis di dunia, namun, gue tak kunjung bertemu dengan museum ini. Btw, gue nggak ngarang cerita, lho. Museum penis itu beneran ada. Isinya, ya titit dari berbagai macam pejantan. Dari singa ke kucing sampe tapir (btw, titit tapir itu titit tergede di dunia #incrediblefact hihihihi) sampai ke … ehem, titit orang. Nah, gue kan nggak nemu-nemu di mana letak museum ini dan gue beneran malu nanya ke orang-orang lokal karena nggak kebayang gimana bentuk pertanyaannya. Masak iya gue nanya, “Excuse me, where can I see the biggest penis in the world?” *kemudian digampar dildo* atau… “Hi, can you show me where I can find the largest collection of penises?” *lalu ditunjukin sex shop* AWKWARD, RIGHT?!

Akhirnya, gue memutuskan untuk keluyuran saja dari pada bete ngider-ngider tapi gak nyampe ke museum titit itu. Nah, di pusat kota Reykjavik (btw, cara bacanya: re-kya-vik), ada sebuah danau yang membeku karena memang sedang memasuki musim dingin. Banyak sekali orang-orang yang berjalan-jalan di atas danau beku ini. Gue berhenti sejenak, meresapi pemandangan di depan gue, sambil memotret berbagai kejadian menarik dan bangunan-bangunan cantik di pinggiran danau itu.

SAMSUNG CSC
SAMSUNG CSC
Dari banyak sekali manusia yang sedang ada di sana, ada satu orang yang menarik perhatian gue, seorang perempuan yang berusia sekitar 40an, duduk di bangku di pinggir danau persis di belakang gue sambil sesekali mengecek jam tangannya. Tak lama kemudian, seorang perempuan lain yang sepertinya juga berusia 40an berjalan tergesa ke arah perempuan ini.

Adegan selanjutnya membuat gue ikut tersenyum lebar. Perempuan berambut sebahu yang duduk di bangku meloncat berdiri, menjerit senang dan segera menyongsong perempuan satunya, lalu, mereka berpelukan lama sekali.

Dari percakapan mereka, gue jadi tahu, bahwa mereka berasal dari Inggris, sudah lama sekali tidak bertemu, tidak berencana untuk traveling ke Iceland, namun tak disangka malah bertemu di sini setelah salah satunya melihat update Facebook temannya. What a nice coincidence!

Mrs. A dan Mrs. B (kita anggap saja begitu), adalah traveler yang senang bepergian sendiri. Mereka sudah menjelajah ke mana-mana. Dari negara-negara kecil di Eropa yang tak mengenal bahasa Inggris, sampai ke Amerika Selatan, Nepal dan India. Gue menghampiri mereka, bertanya, apakah gue boleh memotret mereka.

”Sure, but don’t do it from the front. My face doesn’t look good right now!”
“Yes, me too! I look bloody horrible!”
Mereka berdua tertawa lagi. Gue tertular hawa bahagia mereka dan ikut tertawa.
“So, I can take your picture from the side?”
Keduanya menggeleng serempak.
“No. From behind, please.”
Melihat tampang gue yang bengong, mereka tertawa lagi, namun tetap tak bersedia difoto dari depan maupun samping. Ah, ya sudahlah. Gue akhirnya mengambil satu foto mereka, sesuai keinginan mereka, yaitu dari arah belakang.

SAMSUNG CSC

Mrs. A bercerita, awalnya dia adalah seorang penakut yang buta arah. “One day I decided to see the world. Everything has never be the same since then. Bollocks, I am addicted to every wonders in every corner of the world!”

Mrs. B menambahkan, selain tak bisa baca peta dan penakut, Mrs. A juga seorang yang gampang panik. Mrs. A dengan gayanya yang lucu langsung menyambar, “And you’re the bitch who fell in love with every good looking men. That’s the reason you travel, right? RIGHHTTTTT?!” Tawa kami kembali meledak sore itu. Suhu 3 derajat di Reykjavik untuk sejenak terasa hangat.

Dari cerita mereka berdua, gue tahu, bahwa untuk berjalan sendiri membutuhkan keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Kita menantang diri kita sendiri untuk mendobrak batasan-batasan yang sebenarnya kita ciptakan sendiri. Kita lalu takjub sendiri dengan kemampuan kita beradaptasi dan menemukan solusi dari masalah yang kita hadapi saat berjalan. Lama kelamaan, adiksi untuk berjalan semakin besar, karena kita yakin, sebesar apapun tantangannya, bisa kita hadapi. Traveling makes us realise that we can always count on ourselves.

Sebagai pertanyaan terakhir, gue bertanya ke Mrs. A dan Mrs. B, apa yang membuat mereka ke Iceland. Mrs. B menatap gue dengan pandangan jenaka, “I think the answer is the same with yours. You’re here to see the aurora. To fulfill your dream. Am I right or am I right?”

Pernyataan Mrs. B gue jawab dengan tawa. Sore itu, di keindahan danau yang membeku di pusat kota Reykjavik, gue mendapatkan dua orang kawan baru yang menyenangkan.

Nih, gue bonusin dua foto lagi. Foto-foto yang gue tampilkan, cuma di-retouch seadanya. Untuk foto Iceland yang lain, main ke IG gue aja. Usernamenya: amrazing. Jangan lupa follow, ya. Awas kalo nggak. :p

SAMSUNG CSC

SAMSUNG CSC