Two Strangers in A Plane


Tangerang. Bandara Soekarno Hatta. Seorang Ibu berlari menuju counter check-in sambil terengah menyeret koper silver-nya. Di depannya, ada sebaris orang sedang antre untuk check-in. Tergesa, si Ibu ini mencolek orang di depannya.

“Mas, boleh nggak saya duluan? Saya sudah telat dan belum check-in…”
Orang di depannya bergeming. Melirik si Ibu pun tidak, seakan tidak berempati. Padahal, ia terlihat jelas putus asa. “Mas…”

Si Ibu mencolek lagi. Dia makin panik. Akhirnya, cowok di depannya menoleh, lalu melepaskan earphone-nya.

Si ibu mengulangi permintaannya, lengkap dengan wajah memelas dan suara seperti hampir menangis. Antrean bergerak maju. Cowok itu mengangguk, dan mempersilakan si Ibu mengambil tempatnya setelah sebelumnya dia membantu si Ibu berbicara dengan calon penumpang yang antre di depan.

Di depan counter, si Ibu buru-buru menyerahkan KTP-nya. Petugas counter check-in mengetikkan sesuatu ke layar komputer lalu menggeleng. “Maaf, Bu. Sudah tidak bisa. Check-in sudah ditutup lima belas menit yang lalu.”
“Tolong, Mbak. Hari ini anak saya wisuda. Saya sudah janji datang. Tolong, Mbak… tolong…”

Petugas itu kembali menggeleng. Wajah si Ibu seketika pias. Tak peduli bagaimana pun dia memohon, dia tak bisa terbang. Si petugas meminta maaf, dan meminta ibu ini bergeser karena antrean di belakangnya makin panjang. Dengan wajah berlinang air mata, Ibu ini menyingkir. Sebelah tangannya mencengkeram KTP, sebelah tangan lagi memegang erat gagang kopernya.

Lima menit kemudian, duduk termenung di bangku bandara, Ibu yang terlambat check-in menatap kosong ke depan sementara riuh orang berlalu lalang. Tanpa ia sadari, air matanya menetes. Beberapa orang sempat menoleh, ada yang berhenti berjalan, ragu antara ingin menghampiri si Ibu atau tetap fokus pada urusan mereka masing-masing. Namun, orang-orang ini memilih untuk terus berjalan. Handphone Ibu ini berdering. Dia buru-buru menyeka wajahnya lagi.

“Iya, Mas?”
“Lho? Belum naik pesawat, Ma? Mama jadi ke wisudaku, kan?”
“Maafin Mama, Mas. Mama telat check-in.”
Terdengar helaan napas panjang di seberang sana.
“Kok bisa telat sampai ke bandara, Ma?”
Si Ibu berbaju biru muda menggigit bibirnya. Dia hendak mengutarakan sesuatu, tetapi mengurungkan niatnya.
“Memang Mama yang teledor, Mas. Maaf, ya. Mama akan usaha naik pesawat berikutnya. Mudah-mudahan nggak telat.”

Mereka ngobrol beberapa saat, dan setelah selesai, si Ibu tampak sedikit optimis. Lima panggilan telepon, tiga kali ke ATM dan dua jam kemudian, di tangan si Ibu sudah tergenggam selembar tiket ke Jogja, tempat anaknya akan wisuda hari itu. Tiga puluh menit kemudian, si Ibu sudah duduk di dalam pesawat.

Ibu Berbaju Biru duduk di sampingku. Berulang kali dia melirik ke arah jam tangan mungil yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Sama sepertiku. Biasanya, orang-orang mengenakan jam di tangan kiri. Itu sebabnya, aku memutuskan untuk mengajaknya mengobrol.

“Jalan-jalan ke Jogja, Bu?”
Si Ibu menoleh dan tersenyum hangat.
“Anak saya wisuda hari ini, Mas.” Ada kebanggaan yang kuat terselip di suaranya.
“Wah, selamat, Bu. Pasti bangga sekali, ya.”
Dia mengangguk berkali-kali, lalu melirik ke jam tangannya lagi. Sesaat kemudian, terdengar pengumuman kalau pesawat akan take-off sebentar lagi. Ibu Berbaju Biru menghela napas lega. Aku tersenyum. Ibu ini menarik sekali.

“Akhirnya, ya, Bu. Sudah nggak sabar banget kayaknya?”
“Haha. Ya, Mas. Seharusnya saya terbang tiga jam yang lalu.”
“Lho? Pesawat sebelum ini?”
Beliau mengangguk. Pesawat melaju makin cepat, dan beberapa detik kemudian, Jakarta yang diselimuti kabut tipis mulai mengecil. Kami sudah di udara. Ibu Berbaju Biru lalu menceritakan kejadian yang menimpanya. Aku mengerutkan kening.
“Ibu kena macet berapa jam memangnya?”

“Sebenarnya saya sudah meluangkan waktu empat jam, Mas. Tapi di tol, ban mobil taxi yang saya tumpangi kempes. Satu setengah jam terbuang percuma. Seandainya saya tiba di bandara lima belas menit lebih cepat, pasti masih keburu…”

“Mm… kalau boleh tahu, Ibu booking tiket di mana? Website atau?”
“Saya nurut sama anak saya, Mas, disuruh booking lewat Traveloka.”
“Lho, kenapa nggak check-in online sekalian lewat aplikasinya, Bu?”

Giliran Ibu Berbaju Biru yang bingung. “Lho, memangnya bisa, Mas?”
Aku tertawa kecil, dan segera menjelaskan proses check-in online lewat Traveloka App.
“Begini… Ibu punya aplikasi Traveloka di handphone, kan?”
Dia mengangguk.
“Nah, kalau pesan tiket di Traveloka, Ibu tenang saja karena check-in online sudah dapat dilakukan 24 jam sebelum jadwal keberangkatan, bahkan bisa juga pilih tempat duduk kalau masih tersedia, Bu. Tinggal buka aplikasinya di handphone, lalu Ibu tinggal pilih Check-in Online saja, Bu…”

“Segampang itu?” Tukasnya tak percaya.
“Segampang itu.”

Raut wajah Ibu Berbaju Biru menunjukkan kekesalan.
“Aduh… padahal saya bisa check-in duluan, ya, sebelum tiba di bandara…”
“Mungkin Ibu tadi panik?”
“Iya. Tapi kan kalau saya sudah check-in online, saya sudah di kampus anak saya sekarang. Nggak perlu antre, bahkan memohon sama orang-orang yang antre juga untuk didahulukan. Aduh… kesal, Mas. Tiket hangus, keluar uang lagi untuk beli tiket baru. Untung cuma ke Jogja. Kebayang nggak, kalau anak saya kuliah di Sydney atau malah di Eropa dan saya telat ke bandara?”
“Indonesia banget, ya, Bu. Ada kejadian apapun, masih ada ‘untung’nya! Hahaha!”
Si Ibu ikut nyengir. “Dan untung kamu ajak ngobrol, Dek. Saya jadi tahu dan paham, lain kali check-in online dulu. Jangan panik nggak karuan.”

Kami tergelak lagi. Setelah itu, kami bertukar kontak dan mumpung aku masih ingat, aku kirim link: https://www.traveloka.com/checkin ke WhatsApp si Ibu biar bisa baca-baca info check-in online. Keesokan harinya, Ibu Rahayu membalas chat aku dengan mengucapkan terima kasih atas info tersebut dan menceritakan sedikit tentang wisuda anaknya. Ketika dia tiba di kampus anaknya, acara wisuda sudah dimulai. Namun, untungnya, nama anaknya belum dipanggil sehingga beliau bisa menyaksikan saat-saat anaknya dinyatakan lulus.

Aku ikut berbahagia untuk Ibu Rahayu. It’s really amazing that a stranger can make you so happy with her story. Sisa hari terasa enteng. Aku bisa jalan-jalan dengan hati senang, menikmati keindahan Jogja.

Chat terakhir dari Ibu Rahayu adalah,
“Kamu ajak saya ngobrol karena saya pakai jam di tangan kanan, ya?”