Di postingan sebelum ini, yang tentang Munich, gue udah janji ngasih liat foto sunset di Munich, kan, ya? Atau, kalian malah belum baca? *langsung insecure*
Nah, sebelum masuk ke cerita gue kabur ke Salzburg, mari tuntaskan janji! Dan karena gue sedang malas mengedit, kita saksikan saja foto yang belum diedit sama sekali, ya.
Begitulah sunset yang gue dapet di Munich. Nggak terlalu bagus, sih. Mungkin ini hukuman buat gue yang terlalu ambisius. Lesson learnt!
Sampai jumpa di postingan selanjutnya.
…
,,,
*digetok*
HAHAHAHA! Nggak, deng. Kan agenda utama bukan cerita tentang Munich. Mari bicara tentang ekspektasi. Sejak memutuskan mengunjungi Munich, agenda utama gue hanya satu: pengin liat Neuschwanstein Castle. Kebeneran di Munich cuaca cerah langit biru matahari bersinar tapi dingin selalu desember tahun kemarin. Satu kedodolan gue sebagai Aquarius, gue ini pelupa. Gue inget mau ke Neuschwanstein, tapi gue lupa beli tiket online, dan yang paling parah…. gue lupa bangun pagi-pagi. Jarak dari Munich ke kastel ini: kurang lebih 3 jam. Gue bangun pukul 9 pagi. Perjalanan PP 6 jam. Belum tentu bisa masuk karena belum tentu tiketnya belum sold-out. Paling cepat berangkat ke stasiun pukul 10 pagi. Jadwal kereta adanya hampir pukul 12-an. Nyampe sana sore banget pasti. Yawla kesel.
But that’s the thing about traveling. Nggak semua yang lo rencanakan pasti terlaksana dengan baik. Nah, inilah pentingnya me-manage ekspektasi. Biar nggak terlalu kecewa, jangan gampang baper jadi orang. Biar nggak berlarut rasa kesalnya, lebih baik cari solusi dari masalah yang ada.
Masalah gue: kesiangan ke Neuschwanstein Castle.
Solusi: cari lokasi lain.
Akhirnya, gue baca kalau Salzburg cuma dua jam naik kereta dari Munich. Plus, kotanya cantik nggak ada obat. Berbekal dua info ini, berangkatlah gue. Ekspektasi gue set ke 0 besar.
*dies*
*idup lagi*
YAWLA
*mati lagi*
*idup lagi*
*kemudian mati dan hidup lagi berulang kali*
*jadi jombie*
Seriously, Salzburg!! Keterlaluan banget cakepnya!!
This is what happened when you have zero expectation! The lower the expectation, the less the disappointment. With less expectation, the happier you will be.
Terbukti berulang kali. Terkadang kita berharap terlalu banyak, terlalu tinggi, sehingga ketika apa yang kita inginkan tak tercapai, kita sedih dan kecewa. Familiar? But managing expectation is a hard thing to do. We tend to wish (upon a star, to god, over a poster of deadpool) things will always be awesome, and there’s absolutely nothing wrong with that. But… are we ready to swallow the bitter pill of disappointment? Yeah. Me too.
Makanya, gue selalu belajar untuk tak terlalu berharap dan lebih memilih untuk jadi kayak eek di kali. Mengapung dan mengalir. Pasrah. Kalo dapet cuaca bagus dan kota yang indah, gue bersyukur. Kalo nggak, gue akan berusaha untuk menikmati yang disajikan alam. Tapi gue bukan eek, lho. Tolong dicatet.
FYI, day trip ke Salzburg itu oke banget. Kronologi: Gue nyampe di stasiun. Terus ke information, nanya-nanya ke petugas, kemudian dikasih saran: Kalau mau menikmati Salzburg, mau jalan-jalan anti ribet, ikutan tur aja. Dan ada banyak sekali tur yang bisa dipilih. Gue memilih The Sound of Music Tour. Alasannya sederhana: pengin liat danau keren, pengin liat tempat syuting The Sound of Music yang kece-kece. Apa itu The Sound of Music? Well.. ini adalah film klasik tahun 60’an. Musikal dan abadi. Gue yakin walau kalian belum pernah nonton, lagunya pasti pernah dengar. Coba deh, ke youtube lalu cari soundtrack the sound of music. Abis denger pasti mulut kalian monyong, “ooooooo….”
Rupanya keputusan gue tepat sekali sedara-sedara! Seharian keliling Salzburg bareng emak-emak bapak-bapak kakek-kakek nenek-nenek dan beberapa bijik anak muda yang kebanyakan bengong saat lagu-lagu The Sound of Music diputar sementara para manula nyanyik dengan semangat, bikin suasana ceria dan bikin gue ngakak-ngakak. It’s hilarious mendengar para ortu dengan semangat ngobrolin jalan cerita film ini as if mereka baru nonton kemarin. And you know what? Banyak banget dari peserta yang hafal dialog film ini sampai ke titik komanya. Mungkin fenomenanya sama kayak anak muda di Indonesia yang hafal abis dialog AADC.
Yang namanya kenangan nggak selalu buruk. Ada banyak kenangan yang mampu memantik rasa hangat di hati. Salah satunya, kenangan akan film yang istimewa, yang tak membosankan ditonton berulang kali.
Salzburg jadi amat istimewa hari itu. I travel back in time. I visited my childhood memories. I remember how happy it was to be able to see Salzburg and all its glory, just like The Sound of Music! And I intend to comeback. Why?
Let the pictures speak for itself. (dan semua fotonya, nggak diedit)
OHHHH! Lupa! Gue mau nanya dong: kalau kalian, pengin napak tilas lokasi film apa?