Setelah timeline mendadak gloomy semalam, gue merasa perlu menuliskan ini ke dalam bentuk blog. Biar kalau mau baca ulang, tinggal ke sini, nggak perlu obrak-abrik tweet gue yang bejibun.

Jadi, semalam gue udah kepengin update blog yang #26DaysinEurope. Masih cerita tentang Brussels. Untuk membangkitkan mood menulis, gue ngetweet pancingan ->

When people told you that s/he wanted to commit suicide, what would you do?

Twit ini rupanya mendapatkan beragam reaksi. Ada yang positif, dan pastinya ada aja manusia yang negatif. Tak apa. Banyak yang nggak ngerti lantas langsung ngejudge. Itu natural, kok. Kan, kita penginnya dianggap dan terlihat lebih pintar dari orang lain. Terus, gue membuka sedikit tweet yang tadi. Gue jelaskan. Ini dia:

This person is a stranger. He asked for my opinion because he thought his life was not worth living anymore. And I was unable to say a single word.

Nah, ini topik yang mau gue angkat di postingan Brussels. Tapi, karena terlalu heboh tanggapan di tab mention, gue memutuskan untuk membahas topik ini saja, minus travelingnya.
Akhirnya gue bercerita. Cerita yang selama ini gue simpan sendiri, karena toh udah berlalu dan nggak perlu diungkit lagi. Alasan gue bahas dan gue keluarkan, karena ada banyak sekali yang bernasib sama.
Ada beberapa yang gue RT.

Di bawah ini, adalah RT-an dan lanjutan tweet gue dan ada yang gue edit plus tambah-tambahin biar layak menjadi blog.

Pernah berpikir untuk mengakhiri hidup nggak?

Why do people wanted to kill themselves?

One of the reasons is losing hope, I think. What is life without hope?

Ada juga yang pengin bunuh diri karena bosan sama hidup yang gitu-gitu aja. You know, perasaan kayak ngambang. Kayak hidup tuh diabisin buat napas makan tidur berak doang. Hidup yang stagnan dan gak guna.

Gue pernah mikir pengin bunuh diri. dua kali.

Pertama waktu smp, dalam perjalanan menuju pontianak naik kapal pelni dari jakarta.

I was only 12, i think.

Ketika dipaksa dewasa sebelum waktunya, dikasih tanggung jawab besar dan tekanan dari segala arah dan elo merasa nggak siap, itu depresif.

Waktu kecil, gue selalu ngerasa sebagai outsider. Nggak Sepenuhnya diterima di keluarga. Merasa nobody understand me. Merasa asing.

Kemudian papa meninggal. keluarga berantakan. si lexy kecil yang haus perhatian tambah terpinggirkan, dan harus pindah ke Malang.

Waktu di dek kapal malam-malam, gue mikir gini:

Kalau gue loncat ke laut lalu dimakan hiu, nggak akan ada yang kehilangan juga.

It’s the sadness and loneliness so thick that almost drowned me and made me wanted to end my life.

Alasannya

Gue nggak bisa berenang, terus lupa pake jaket, ngerasa dingin, masuk ke dalam, terus ketiduran.

Malesin banget ya, alasannya? Well… i was 12 and labil.

Kali kedua, ketika lulus SMU dan ikut kakak lalu buka toko sendiri. Gue bosan bosan bosan bosan.

Bosan karena gue tau tempat gue di situ.
Bosan karena gue nggak tau harus ngapain.
Bosan karena itu lagi itu lagi yang gue hadapi.

The feeling that you don’t belong anywhere. the feeling that you’re incapable of doing something good. and you’re bored.

Jadi gue kayak zombie. bangun – buka pintu toko – jualan – sore tutup pintu toko – ulang. setiap hari.

Ketawa sih sama emak-emak rumpi, tapi ketawa karena mereka ketawa. Ngobrol sih, tapi ya gue merasa bosan sama rumpian mereka.

I was bored, seriously bored, because i felt i didn’t have purpose in life. pinter kagak kuliah kagak punya duit kagak punya skill kagak.

Gue bosan luar biasa. sumpah. bosan dibanding-bandingin sama orang lain. bosan dihina. bosan sama semuamuamuanya.

Karena superbosan itu, gue jadi nggak bisa marah nggak bisa sebal nggak bisa sedih nggak bisa bahagia. semuanya flat. dunia gue monotone. Warna yang gue liat ya cuma warna abu-abu. Nggak menarik sama sekali. Jarang banget gue nangis. Lebih jarang lagi merasakan empati, simpati, atau hawa senang. Seringkali, ketika udah tutup toko, gue merasa kosong. Sepi yang mencekik. Maka, gue menyalakan TV. Gue tatap TV itu. Tapi nggak ada satupun yang membekas. Karena gue hanya menatap dengan pandangan kosong. Biar kamar nggak terlalu sunyi. Biar ada suara. Biar gue nggak terlalu merasa sendirian. And then I would lay down. And I would think out loud.

Why should i live?

Ngapain gue ngabisin jatah oksigen?

Do I have a purpose?

Kenapa gue merasa bosan setiap saat?

Kenapa gue harus menjalani hidup yang monoton terus menerus?

Besok pasti akan begini lagi.

Gue nggak punya skill apa-apa.

Gue nggak tajir. Kenapa sih gue nggak terlahir jadi orang kaya aja?

Kenapa gue udah kerja keras banget tiap hari, tapi masih kayak gini aja?

Kenapa orang lain lebih fortunate dari gue?

Salah gue di mana?

Kok nggak ada yang bisa gue ajak ngobrol, ya?

Kenapa mereka menertawakan kalau gue cerita?

Hidup gue kenapa nggak ada gunanya sama sekali?

So… why should I live?

Pikiran yang gitu lagi gitu lagi gitu lagi. pas bangun, bantal basah. bukan, bukan iler. ternyata i cried myself to sleep. And this shit kept on happening, on repeat. Almost every single day. Punya pacar juga nggak membantu, karena ternyata kami nggak satu frekuensi. Nevertheless, the relationship lasted for almost two years. Dan selama itu juga, dia nggak tau apa-apa tentang depresi gue. To be honest, gue bahkan nggak ngeh kalau gue depresi. Aneh? Nope. A lot of people just live their life without even knowing they have depression.

I’m really good showing my happy face while deep down inside I feel like the loneliest man on earth. It took years of practice, and I’ve managed to mastered it.

Sampai akhirnya gue ketemu internet. kemudian chatting sama banyak orang. dari malam sampai pagi. buka toko, tutup toko, ke warnet. repeat.

Apparently, i just needed company.

Terus browsing sana sini, ternyata gue ada gejala depresi. Di sini gue baru ngeh. Ada yang salah sama diri gue. Apa? Itu lah yang terus gue gali. Ketika gue punya masalah, gue akan berkubang di masalah itu, baru setelah capek luar biasa, gue mencari solusi. Dan solusinya sederhana. Gue kepengin punya teman berbicara. Jadi… tiap hari gue maen ke warnet. Just to talk with people. I didn’t care who they are. I just didn’t want to feel alone. But still, there’s a hollow feeling inside once I got home.

Punya teman real life nggak? Teman sma punya. tapi gue nggak ngerasa nyambung sama mereka. It’s like we live in completely different world with barrier so thick no one could penetrate it. And I was tired of trying.

Setelah beberapa bulan, gue nemu artikel yang menyarankan untuk menuliskan semua perasaan gue.

Gue cuma berhasil menulis satu kalimat:

“I’m so bored i wanna die.”

Di puncak kebosanan, ada yang nawarin untuk buka konter henpon. Tanpa pikir panjang, gue iyakan.

Kenapa? karena kebosanan dan rasa kesepian itu membunuh perlahan.

Akhirnya, lewat konter handphone ini, gue beneran nemu temen yang nyambung. Yang bisa diajak ngobrol dan tukar pikiran.

Pelan-pelan, pikiran pengin bunuh diri itu hilang. Karena gue nggak bosan lagi. Orang di sekitar gue memacu gue untuk punya sesuatu. Perlahan juga, tanpa gue sadari, hidup gue jadi lebih berwarna. Dunia nggak melulu kelabu. Gue bisa nangis dan beneran sedih atau terharu. Gue bisa tertawa lepas dan beneran merasa senang. Gue menanggalkan topeng ceria dan menyambut emosi yang kembali membanjiri setiap sel di tubuh. Pikiran untuk bunuh diri, sudah terkunci di sebuah peti di sudut otak. Kuncinya nggak tau di mana. I really hope I won’t ever open it again. It’s so scary.

Alasan utama kenapa gue bisa perlahan lepas dari depresi, adalah harapan. Gue berharap gue bisa menjadi seseorang. Gue berharap, dan percaya, gue suatu hari nanti akan menemukan apa yang gue suka. Gue waktu itu sudah memulainya dengan menulis. Menurut gue, punya harapan dan melakukan apa yang disuka itu penting banget untuk membunuh depresi.

To have a purpose in life in an anchor to live.

Gue percaya banget sama ini.

Kalau mau flashback lagi, alasan awal kenapa selalu merasa tertekan yang akhirnya berujung ke depresi adalah lingkungan dan orang tua.

Buat para orang tua yang membaca tulisan gue, tolong jangan membandingkan anak kalian ke orang lain. Itu beban yang sangat besar. Kalimat kayak, ‘halah si itu aja bisa masak kamu nggak?’ atau ‘si itu udah ke langit, elo masih gini gini aja!!’ meruntuhkan mental banget.

Serius. Gue merasa amat sangat tertekan harus juara kelas. harus jadi yang terbaik. Harus begini harus begitu dibanding-bandingkan secara konstan.

Mungkin kalian, para orang tua, merasa yang kalian lakukan adalah memberi motivasi dan mencambuk anak supaya lebih semangat. believe me it’s not what we want. Kami berbeda dengan anak lain. Kami mempunyai hobi yang berbeda, minat yang tak sama. Yang kalian pikir harus jago matematika, mungkin tak relevan sama kami yang sukanya main bola. Yang kalian pikir harus hebat dalam hafalan, mungkin tak menarik untuk kami yang suka melukis.

Jangan paksa kami untuk menjadi orang terbaik sesuai bayangan kalian. Let us be the best in our own version. Don’t force us to be something/someone we’re not. It’s not gonna work, it won’t make us happy, it will only become a burden. A burden you might never notice because we will do our best to make you, parents, happy and proud. You see, as your children, you are everything to us. You are the hero. The one to look up to. We are afraid to see you angry, we fear you might resent us if we don’t abide your rules. And that’s when the early stage of depression kicked in.

Let us be the best, with our own way. We need you to guide us, to support us, and most of all, to love us. Of course we will make mistakes. A lot of them. But you know what? Your cruel punishment, the way you yelled at us, the humiliation we have to endured because you would talk about our foolishness and our stupid mistakes to your fellow parents while we’re there, and then you would laughing out loud with them, while we stood there, holding back tears, felt so ashamed and worthless… that would leave holes and scars.

I am the perfect example from a broken home family. From parents who wanted me to be the best by forcing me doing what I didn’t like. Who would get punishment because I was not good enough for my parents. Who crave for attentions, but didn’t get enough of it.

When it’s become to unbearable, the easiest way to escape, in my young bruised mind, was to kill myself. I am lucky I still live to tell this story. I am fortunate to be able to fight my way up from the hole of depression.

Dan buat yang (semalam) mention pengin bunuh diri, apapun masalah kalian… please don’t. talk to someone who would listen, not judge.

Kalau lo merasa lega dengan berdoa, lakukanlah. tapi menurut gue, you need someone to talk to. lo butuh ‘tempat sampah’.

‘tempat sampah’ gue dulu adalah ngobrol sama stanger di internet. gue menyibukkan diri. gue berhenti mengasihani diri sendiri.

Growing up with so many caci maki dibanding-bandingin sama orang dikata-katain mau jadi apa lo kalo udah gede dll … the scar never healed.

Rasa minder itu masih sering muncul. rasa insecure. merasa worthless. merasa was-was dan takut kalo yang gue lakukan gak cukup baik.

Seriously. when you’re depressed, seek help. don’t be alone. or… be alone, but don’t drown in loneliness that leads to self pity

Ada masanya gue benci banget sama nyokap yang jahat. sekarang sih udah nggak. I make peace with her. And most importantly, gue berdamai dengan diri sendiri. Gue menerima fakta bahwa gue nggak ganteng, nggak tajir, nggak jago, and that’s okay. Gue nggak perlu minder hanya karena orang lain punya apa yang gue nggak punya. It’s okay. Karena gue sadar, jalan hidup setiap orang berbeda.

Everyone fights a different battle.

If you have suicidal thought and need someone to talk to because no one is there for you, you can email me.

I have been there done that and i’m still alive. i just want you to know that you’re not alone.

But seriously, i’m okay now. gue punya banyak orang yang sayang gue. yang ngejaga gue. finally, i feel ‘content’.

Btw, postingan ini adalah pelengkap postingan tentang krisis identitas dan merasa worthless dan gak tau mau ngapain dan apa yang akhirnya menjadi jalan keluarnya untuk gue. Mudah-mudahan, berguna untuk kalian. Silakan baca “Galau Usia 20an“.