Hai, Halo!
Selamat datang! Silakan mencari posisi duduk yang nyaman, silakan berbaring kalau mau, dan siapkan secangkir ocha atau kopi kesukaan. Melanjutkan cerita gue di Jepang selama 12 hari yang disponsori oleh JNTO, ini dia part ketiga. Sudah baca cerita-cerita sebelumnya?
Ini bagian pertama, dan ini bagian kedua.
Jadi setelah melihat kebun lavendel yang sudah lama banget ngendon di bucket list gue, sore itu juga, setelah gue puas foto-foto dan bikin video, kami beranjak ke kota selanjutnya, masih di pulau Hokkaido, yaitu…
SAPPORO
Jika ada satu hal yang membuat gue iri setengah mati dari kota Sapporo, hal itu adalah Odori Park yang membentang dari barat ke timur sepanjang hampir 1,6 kilometer.
Kami menghabiskan dua malam di sini. Main ke Odori Park, menangkap Pokemon bersama-sama dengan penduduk lokal (btw, di sini pokestopnya sangat banyak dan pada royal nabur lure!). Setelah check in di hotel, gue memanfaatkan waktu bebas untuk maen ke Odori Park. And you know what? Di sini gue ketemu mahasiswa dari Indonesia. Awalnya sih rada lucu. Dia lagi ribet ngatur gimana caranya bisa foro bareng teman-temannya, yang rata-rata Caucasian, dan di saat yang sama, gue nyampe di situ, ngobrol dengan rekan perjalanan yang adalah anak majalah. Kami tentunya menggunakan bahasa Indonesia. Kalo pake bahasa Jepang, mungkin 5 tahun lagi setelah gue memantapkan diri untuk les. Nah, mas-mas ini (gue entah kenapa lupa namanya siapa) mendengar bahasa yang akrab di telinganya, dan menghampiri kami. Kami berkenalan dan tentunya gue nggak ragu untuk memotret mereka. Setelah itu, kami berpisah. Gue sih tetap di Odori Park karena…. POKEMON! Aselik, pokestop di setiap beberapa meter, semuanya dikasih lure, dan banyak banget anak-anak muda yang ngumpul dan bermain pokemon go bareng-bareng. Sampai-sampai gue terlambat makan malam dan baru nyadar ketika melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 11 malam. Yasalam…
Untungnya nemu warung ramen yang masih buka. Dan untungnya lagi, seperti biasa, makanan di Jepang cuma ada dua kategori: enak dan enak banget. Gue beli ramen seharga 800 yen. Abis nggak? Tentu tidak. DI Jepang itu porsi ramennya kayaknya buat manusia berlambung tujuh, deh. Banyak banget! Herannya, di sini jarang ada yang obesitas. Gue ngabisin sepertiga porsi aja udah berubah menjadi cowok hamil 4 bulan. Hvft.
Keesokan siangnya, kami berkunjung ke Okurayama Ski Slope, dan di sini gue tanpa sengaja memotret seorang ski jumper world champion! Gue baru tahu perempuan cantik yang gue potret adalah Sara Takanashi setelah Kazu-san melihat foto itu dan bercerita siapa yang baru gue foto.
Pemandangan dari Okurayama juga cantik banget. Kota Sapporo membentang di bawah, dan dari ketinggian 146 meter, banyak ski jumper yang meloncat dengan santai, tanpa semili pun rasa takut di wajah mereka, sementara gue yang cuma nonton dan motret udah gemetaran melihat aksi mereka meluncur cepat, lantas melayang sekian detik sambil berputar, lalu mendarat dan mengacungkan tongkat ski mereka. Mengerikan, menegangkan, sekaligus indah. Apakah gue berani melakukan hal yang sama? Yah, berjalan di aspal yang mulus aja gue kepeleset apalagi disuruh meluncur lalu terbang pake papan ski? Yang ada muka gue pindah ke pantat -__-
Berikut beberapa foto yang sudah gue upload ke gugel drive gue.
SHIRAOI AINU, NOBORIBETSU DATE, AND NOBORIBETSU ONSEN
Dari Sapporo, kami melanjutkan perjalanan. Another road trip! Kali ini, kami terpesona melihat betapa unik dan menariknya kebudayaan dan cara hidup penduduk asli Hokkaido, suku Ainu. Dari pakaian mereka yang berbeda sekali dengan kimono khas Jepang, alat musik mereka (ada satu alat musik dari bambu yang dimainkan dengan cara mengembus dan menarik napas dan disinkronisasikan ke tali yang menarik-narik batangan bambu di tengah Mukkuri, atau mouth harp) yang menimbulkan suara lucu, toeng-toeng-toeng yang berima dan bernada (I am obsessed with this instrument!!), rumah-rumah mereka , sampai Bahasa mereka yang berbeda dari Bahasa Jepang. Seru banget! Apalagi, Shiraoi Ainu Museum ini ternyata sangat fotogenik, dengan sebuah danau yang tenang dan jernih, yang ternyata merupakan ciri mereka, dan disebut dengan Porokotan (lakeside village)
Gue sempat diajari untuk memainkan Mukkuri, dan dari beberapa kali percobaan, gue selalu gagal. Saking penasarannya, gue sampai beli alat musik ‘aneh’ ini. Dan tentunya, sampai sekarang gue masih gagal. Ternyata sesuatu yang terlihat mudah, bisa jadi sangat susah dikerjakan … atau gue yang memang beloon.
Ada satu hal yang membuat gue mengamuk di Shiraoi Ainu Museum ini. Ketika pertujunkan nyanyi dan tari dan drama selesai, gue bermaksud untuk memotret perempuan suku Ainu dengan pakaian khasnya. Mereka sudah berpose dan tersenyum manis, gue sudah siap untuk memotret, ketika tiba-tiba gue merasa kepala gue ditekan sesuatu. Gue langsung menoleh. And you know what? Ada seorang turis Cina mainland di belakang gue persis, berusaha memotret Hokkaido’s indigenous women ini dengan iPad, dengan menggunakan kepala gue sebagai tripod. Ngamuklah gue. Mentang-mentang gue lebih pendek dia seenaknya menggunakan kepala gue sebagai tumpuan untuk iPadnya supaya nggak goyang. Dan jawaban cowok Cina ini ketika gue omelin adalah, “Why are you so upset? Did I do something wrong? If you think I do then I am sorry!” Oh, mister, sini deh kepala lo gue tiban pake kamera gue dan gue tekan-tekan. Gue pengin tau apa menurut dia tindakan gue wajar. Apa mungkin di negaranya menggunakan kepala orang lain sebagai tripod adalah hal yang sah-sah saja? Aselik, kesel banget. Jadilah orang ini melipir diiringi delikan mata sipit gue. Gue terus mendelik sampai dia hilang dari pandangan, dan setelah itu, kami ramai-ramai tertawa. Yang lain menertawakan kemalangan gue, sedangkan gue menertawakan diri sendiri.
Well, kejadian nggak enak itu berhenti di situ saja, sih. Karena begitu tiba di spot selanjutnya, yang terjadi adalah tawa tanpa henti. Di Noboribetsu Date Judaimura, atau Ninja Village, segala mimpi menjadi ninja terwujudkan. Sesuai dengan namanya, Noboribetsu Date Judaimura ini memang ‘mereplika’ kehidupan para ninja zaman Edo. Bentuknya seperti perkampungan, dengan rumah khas Jepang, taman, kuil, dan kolam ikan, dan yang paling juara: pertunjukan konyol duel samurai dan pertunjukan Oiran.
Yang namanya komedi gerak memang bahasa universal yang mampu menciptakan tawa. Dua pertunjukan yang gue tonton memang menggunakan Bahasa Jepang, dan gue sama sekali nggak ngerti yang mereka bicarakan. Namun berkat pamflet yang dibagikan (dan pamfletnya pake Bahasa Indonesia! How wonderful!!), gue sedikit paham jalan ceritanya. Yang membuat kami semua terbahak adalah tingkah laku para pemain. They were just naturally funny. Tak terhitung berapa kali gue ngakak sampai terbungkuk-bungkuk. Really, laughing with so many people in a pleasant place like that, was the best remedy.
Seakan hiburan yang mengocok perut belum cukup, gue diperbolehkan memakai kostum ninja! Lengkap dengan samurai dan bawa shuriken asli (yang ternyata lumayan berat), lalu petantang-petenteng di ‘theme park’ ini. Siang itu, kami kembali menjadi anak kecil yang menghidupkan kembali fantasi dari layar TV ke panggung kehidupan, walau cuma sebentar. One thing about Japanese theme park: tempatnya selalu, selalu bagus banget.
Next stop: Noboribetsu Onsen! Pemandangan di tempat ini sedikit mengingatkan gue akan Gunung Papandayan. Bebatuan menguning, bau belerang, kawah-kawah kecil yang mengepulkan asap, ratusan manusia yang berlalu lalang. Kami tak mencoba onsen di sini, karena kalaupun bisa, gue nggak akan diizinkan untuk bergabung di open air public onsen. Alasannya cuma satu: gue punya tattoo. Nggak cuma satu dan kecil, tapi banyak. Dari dada, lengan, sampai punggung. Yang artinya, nggak mungkin gue tutupi dengan balutan kain, dan gue memang nggak bersedia. Terus nggak nyobain onsen, dong? Ohoho, itu cerita untuk Kyushu Island. Baca terus aja.
LAKE TOYA
Seperti biasa, sebelum berangkat ke tempat baru, gue selalu bertanya-tanya ke teman-teman di twitter. Pertanyaan gue sederhana: destinasi mana yang wajib dikunjungi di Hokkaido? Satu tempat yang kerap muncul di tab mention gue adalah Lake Toya. Maka, gue pun googling, lalu bengong lama sekali. Cantiknya nggak ada obat! Namun, gue kecewa karena di itinerary yang dikirimkan JNTO Indonesia Lake Toya tidak termasuk tempat yang akan kami singgahi. Ketika gue menyebutkan dan bertanya kemungkinan berkunjung ke sini walau cuma sebentar, Kazu-san menelisik itinerary, dan di luar dugaan, dia bilang akan memodifikasi itinerary kami. Kami seharusnya menginap di Noboribetsu, tetapi berkat kejelian Kazu-san, hari itu penginapan kami berpindah tempat ke pinggir Lake Toya. Malam terakhir di Hokkaido, dan kami menginap di Lake Toya? Sekarang gue percaya yang namanya keajaiban.
Sebelum tiba di penginapan, Kazu-san berbaik hati mengajak kami naik Uzusan Ropeway untuk melihat Lake Toya dari atas. Melihat awan-awan putih berarak, gue nggak menyia-nyiakan kesempatan untuk membuat timelapse. Lagi-lagi, pemandangan Lake Toya dari puncak gunung mengingatkan gue akan Indonesia. Kali ini, Danau Toba. Kontur danau yang berliku, deretan pulau dan gunung yang berlapis-lapis, warna biru danau yang kontras dengan cokelat dan oranye gunung serta kapas-kapas putih yang berarak perlahan, membuat embusan angin kencang di view point Uzusan tak berarti apa-apa (tapi langsung pasang jaket xD)
Menjelang sunset, kami tiba di hotel. Lokasinya sempurna, menghadap ke Lake Toya, dan di halaman hotel yang superluas ini ada panggung kecil. Rupanya, kejutan menyenangkan tak berhenti di sini. Gue diberitahu bahwa akan ada pesta kembang api malam itu. Kurang lebih 6000 kembang api selama satu jam akan diluncurkan dari perahu yang bergerak mengelilingi Lake Toya. Gue udah nggak sanggup ngomong lagi, cuma bisa melotot dengan mulut menganga bodoh. Jika ada yang mengabadikan ekspresi gue saat itu, fotonya pasti akan jadi meme of the year.
Sunset dan langit bersemu ungu mengambil alih ketika kami sudah meletakkan koper di kamar. Di panggung kecil itu, seorang penyanyi pria bernyanyi diiringi gitar akustik. Berkali-kali juga gue merinding. Bayangkan, pemandangan danau dan kapal-kapal kecil yang berlayar, sunset dengan langit ungu-oranye-lembayung di latar, diiringi suara merdu lagu-lagu berbahasa Jepang, ditambah dengan kehadiran satu kapal besar yang didekor dengan ribuan lampu yang meninggalkan pelabuhan menuju tengah danau. Gue nggak pernah bermimpi akan menikmati senja sesempurna itu.
Puncaknya, pada pukul delapan malam, pertunjukan kembang api dimulai. Susul menyusul, langit dipenuhi warna-warna yang membuat semua orang yang menyaksikan enggan berkedip. Ketika kapal pembawa kembang api pindah, serentak kami bergeser untuk mendapatkan posisi terbaik. Satu jam lebih langit dihiasi pelbagai bentuk dan warna, berbonus pantulan warna-warni kembang api di danau. Malam terakhir di Hokkaido membuat gue berjanji ke diri sendiri: suatu hari nanti, gue akan kembali ke Hokkaido dan harus menginap di pinggir Lake Toya lagi.
Milky way dan langit penuh bintang mengakhiri petualangan gue di Hokkaido. It was a night to remember, and it was a perfection.
Akan bersambung ke postingan selanjutnya. Let me know what you think because even though I don’t always reply to comments, I read them all and it always makes me happy to know you’re out there and spending time reading my blog and give me comment. Terima kasih, yaaa. :”>
7 responses to “From Hokkaido To Kyushu (Part 3)”
tumben postnya siang? atau emang udah diatur ya waktunya?
entah kenapa baca ini bikin merinding, bukan merinding takut, tapi merinding pengen. :3. aseli pengen ke Jepang.
Baru selesai baca dari part 1. Dan postingan ini yang paling bikin mupengbgtbgt pengen ke jepang?
ah asli jadi pingin banget ke sini :”)
bismillah…mudah2an gw bs kesana………indah bgt koh…
itu indah bgt kempang apinya, koh :((
Ternyata Hokkaido keren!! Plus foto2nya cakep banget! Sukses bikin Hokkaido masuk list itinerary kalau balik kesana lagi. Aamiiin.. :)
Oke Lexy, gw baru aja mulai baca blog lo, dan tulisan lo stunning banget. Apalagi yang Perjalanan Hokkaido ke Kyushu, beuh bikin gw pengen liat Jepang (semoga suatu saat bisa). Keep up your good writing, Lex. Gw ngefans sama tulisan tulisan lo mulai sekarang.